Reklamasi Ancol Anies, Seperti Terjun Tanpa Payung

CNN Indonesia
Selasa, 28 Jul 2020 07:47 WIB
Gubernur Anies disebut terlalu tergesa-gesa mengizinkan reklamasi kawasan Ancol dan Dufan, padahal izin tersebut belum memiliki dasar hukum yang kuat.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (CNN Indonesia/Patricia Diah Ayu Saraswati)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Umum Bamus Betawi Zainuddin menilai reklamasi kawasan Ancol dan Dufan yang diizinkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ibarat aksi terjun payung tanpa payung. Hal ini karena izin reklamasi tersebut tidak didasari landasan hukum yang kokoh.

"Karena keinginan sangat kuat, mungkin sudah kebelet dia keluarkan keputusan gubernur. Istilahnya ini orang mau terjun payung, lupa pakai payung. Jadi terjun bebas," ungkapnya melalui diskusi publik yang dikutip dari akun Youtube BoloNgopi, Senin (27/7).

Sejauh ini reklamasi kawasan Dufan dan Ancol baru berdasarkan Keputusan Gubernur DKI No. 237 Tahun 2020.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penerbitan Kepgub itu didasari oleh tiga aturan, yakni: Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Zainuddin menyatakan ketiga UU tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan reklamasi.

"UU No. 29 Tahun 2007 tentang ibu kota, nggak ada kaitannya sama reklamasi. UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah nggak ada kaitannya. Kemudian UU tentang administrasi pemerintahan, nggak ada kaitannya," lanjut Zainuddin.

Menurut dia, apa yang dilakukan Anies dalam reklamasi Ancol serupa dengan kasus reklamasi Teluk Jakarta era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Saat polemik reklamasi Teluk Jakarta, Zainuddin menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD DKI. Ia bercerita dari seluruh fraksi di DPRD, hanya Golkar dan Demokrat yang menolak rencana reklamasi.

Penolakan itu disebut Zainuddin lantaran reklamasi yang dicanangkan Ahok dinilai belum memiliki landasan hukum yang jelas.

Zainuddin mengingatkan bahwa landasan hukum merupakan aspek yang penting diperhatikan sebelum membentuk Keputusan Gubernur.

Ia mengatakan Anies tak bisa tiba-tiba mengeluarkan keputusan tanpa proses panjang.

"Ketika belum ada peraturan daerahnya, zonasinya, peruntukannya buat apa, kerja sama sama siapa, anggarannya ada apa enggak, kontribusi disetujui tidak oleh DPRD, baru dikeluarkan Keputusan Gubernur," ungkapnya.

Zainuddin menyebut Anies tergesa-gesa dalam langkah menetapkan izin reklamasi Ancol. Langkah yang tergesa-gesa ini menurutnya bisa berbahaya dan memunculkan permasalahan di lapangan.

Ia kembali membandingkan dengan reklamasi era Ahok. Meski sama-sama berpolemik, menurutnya, reklamasi era Ahok sedikit lebih baik. Misalnya, kata Zainuddin, dalam hal pembagian keuntungan dan pengembangan antara pihak swasta dan Pemprov DKI.

Aktivitas bongkar muat tanah/lumpur dikawasan reklamasi Ancol Timur. Jakarta, Sabtu, 4 Juli 2020. Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020 tentang seluas 35 hektar dan Kawasan Taman Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas 120 hektar yang ditandatangani pada 24 Februari 2020.Aktivitas bongkar muat tanah/lumpur di kawasan reklamasi Ancol Timur. Jakarta, Sabtu, 4 Juli 2020. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) 

Saat itu, Zainuddin mengingat bahwa Ahok memutuskan 40 persen pengembangan proyek reklamasi diserahkan kepada Pemprov DKI. Ditambah 15 persen keuntungan secara tunai.

"Nah, sekarang lima persen doang buat DKI. Sudah gitu ada keterangan kontribusi tambahan akan ditentukan kemudian. Ini kan jadi bahan candaan," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Barometer Jakarta Muhammad Farhan juga menilai keputusan reklamasi Anies cacat hukum. Pasalnya, Keputusan Gubernur tersebut berdiri sendiri tanpa aturan yang menunjang.

Menurutnya tanpa landasan hukum yang tepat, proyek reklamasi bisa saja melupakan banyak kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Salah satunya perkara perencanaan infrastruktur, kajian lingkungan, sampai penanganan banjir di wilayah sekitar.

"Ini [ketika pertama keputusan gubernur keluar] tidak ada kajiannya. Masyarakat banyak aksi baru bilang lagi mau dibuat. Itu sangat tidak masuk akal," ungkapnya.

Ia pun menilai janggal Keputusan Gubernur itu baru diumumkan ke publik pada Juni lalu. Padahal keputusan tersebut sudah ditandatangani sejak 24 Februari 2020 oleh Anies.

Dalam hal ini, ia memandang Anies tengah mempermainkan psikologi warga Jakarta, khususnya yang dulu mendukungnya karena mengusung agenda menolak reklamasi dalam salah satu janji kampanyenya.

"Izin saya harus bilang, Gubernur Anies tukang bohong. Ahli retorika dia, iya. Seperti juru bicara saja. Tapi fakta lapangannya? Ahli hukum itu mengatakan ketika ada kebijakan dikritik masyarakat, pasti ada hukum yang bermasalah," lanjutnya.

Kritik hukum terhadap keputusan reklamasi Anies sebelumnya juga datang dari anggota DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan.

Menurut Pantas reklamasi kawasan Dufan dan Ancol tersebut belum memiliki peraturan daerahnya, yakni Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Perda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

"Seyogianya itu (reklamasi Ancol) harus masuk dalam bagian RTRW dan RDTR. Kalau tidak masuk, berarti (reklamasi Ancol) enggak boleh," kata Pantas, 8 Juli lalu.

Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melakukan aksi damai di depan gedung Balai Kota, Jakarta, Rabu, 15 Juli 2020. Dalam aksinya, KIARA mendesak Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan ubtuk mencabut Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) seluas kurang lebih 35 hektar dan kawasan rekreasi Taman Impian Ancol Timur seluas kurang lebih 120 hektar. CNN Indonesia/Bisma SeptalismaDemonstrasi aktivis dan nelayan menolak proyek reklamasi Ancol dan Dufan, 15 Juli 2020. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma).

Menjawab kritik tersebut, Anies mengklaim pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) reklamasi Dufan dan Ancol terganggu akibat pandemi virus corona. 

Hal tersebut diungkapkan Anies dalam rapat pimpinan dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil pada Selasa (7/7). Namun, rapat tersebut baru diunggah ke saluran resmi Pemprov DKI di Youtube pada 9 Juli.

Berselang dua hari Anies kembali memberi pernyataan bahwa reklamasi di kawasan Ancol berbeda dengan proyek reklamasi 17 pulau era Gubernur Ahok.

"Ini berbeda dengan reklamasi (17 pulau) yang Alhamdulillah sudah kami hentikan dan menjadi janji kami pada masa kampanye itu," ujar Anies dalam video yang diunggah di akun YouTube Pemprov DKI.

Menurut Anies reklamasi Ancol ini bertujuan untuk kepentingan rakyat. Reklamasi Ancol disebutnya menjadi salah satu media penanganan banjir Jakarta karena tanah untuk reklamasi Ancol berasal dari kerukan 13 sungai dan lebih dari 30 waduk di Jakarta dan sekitarnya.

"Jadi dikeluarkannya Kepgub ini untuk memanfaatkan lahan yang sudah dikerjakan selama 11 tahun dan sama sekali tidak mengingkari janji. Justru ini menjadi pelengkap bahwa kita memang mengedepankan kepentingan umum, mengedepankan ketentuan hukum, mengedepankan keadilan sosial," tuturnya.

Sementara Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria pada 19 Juli menyebut bahwa Raperda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR sudah diserahkan ke DPRD. Salah satu poin Raperda ini akan mengatur tentang reklamasi atau perluasan kawasan Ancol Timur.

"Iya (sudah masuk ke DPRD), semua sedang diproses di DPRD," ujar Riza di sela-sela Gowes Sehat di Ancol, Jakarta.

(fey/wis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER