Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Solo, Jawa Tengah, mengkritik keras sejumlah pejabat pemerintahan di kota tersebut yang tak melakukan karantina usai kontak erat dengan Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo.
Sebelumnya, Purnomo dinyatakan konfirmasi positif terinfeksi virus corona (Covid-19) sehingga sejumlah pejabat dan pihak terkait yang sempat kontak dengannya harus mengikuti tes risiko infeksi corona dengan metode PCR. Dan, mereka ternyata masih ada yang diketahui tetap berkegiatan seperti biasa meski hasil uji RT-PCR belum keluar.
Wakil Ketua DPRD Solo Sugeng Riyanto menilai perilaku pejabat tersebut menjadi contoh buruk bagi masyarakat di tengah upaya penanggulangan Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, peluang penularan makin besar potensi penularan makin luas," kata Sugeng saat dihubungi melalui telepon, Rabu (5/8).
Sebagai informasi, sejumlah pejabat Pemkot Solo masih beraktivitas normal meski telah melakukan kontak erat dengan Wakil Walikota Solo, Achmad Purnomo usai dinyatakan positif Covid-19 akhir Juli lalu.
Beberapa di antaranya yang kedapatan masih melakukan aktivitas publik adalah Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, Sekretaris Daerah (Sekda) Solo Ahyani, serta beberapa kepala dinas termasuk Dinas Pendidikan (Disdik) Solo, Etty Retnowati.
Belakangan diketahui Etty positif Covid-19 setelah melakukan kontak erat dengan sedikitnya 34 orang.
Menurut Sugeng, seharusnya pejabat patuh menjalani karantina mandiri sesuai peraturan yang ditetapkan pemerintah atau setidaknya sampai hasil tes usap (swab) dipastikan negatif Covid-19. Apalagi saat ini masyarakat mulai terbiasa beraktivitas secara virtual tanpa harus tatap muka secara langsung.
"Yang bisa dilakukan dengan online, ya online saja. Sehingga acara apapun tetap bisa berjalan dan risiko penularan bisa ditekan semaksimal mungkin. Kalaupun harus karantina mandiri, toh tidak terlalu lama. Paling banter dua minggu," katanya.
Di sisi lain, Sugeng menganggap sosialisasi terkait aturan karantina mandiri kepada warga yang kontak erat dengan pasien Covid-19 belum dilaksanakan dengan baik. Ia mengatakan itu berdasarkan pengalamannya mengenai arahan setelah pengambilan sampel swab di RS Bung Karno akhir Juli lalu.
"Cuma dibilang besok ambil swab lagi. Tidak ada pengarahan soal karantina. Mungkin kita dianggap sudah tahu. Tapi menurut saya tetap harus ada penekanan agar setelah di-swab harus karantina," katanya.
Dihubungi terpisah, Dosen Fakultas Kedokteran UNS, Tonang Dwi Ardyanto mengakui adanya berbagai kendala di laboratorium uji PCR di Indonesia.
Kendala itu di antaranya adalah antrean sampel yang panjang, minimnya ketersediaan reagen, hingga kendala teknis lainnya. Alhasil, sambungnya, pemeriksaan PCR atas sampel yang normalnya hanya membutuhkan waktu 2-3 hari bisa molor hingga lebih dari sepekan.
Tonang yang juga menjadi Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 RS UNS Solo mengatakan masyarakat perlu menyadari pentingnya karantina mandiri setelah melakukan kontak erat dengan pasien Covid-19.
"Diperlukan kesadaran bahwa kalau saya diambil swab lalu tidak karantina mandiri, maka tanggung jawab sosial saya dipertanyakan," katanya.
Karantina mandiri usai pengambilan sampel swab diperlukan untuk menekan potensi penularan lebih luas. Setiap warga yang diambil sampel swab setelah kontak erat dengan pasien positif Covid-19 harus memikirkan kemungkinan hasil positif maupun negatif.
"Kalau hasilnya negatif ya Alhamdulillah berarti sesuai harapan kita. Tapi kalau positif berarti, 'saya sudah menghindarkan orang lain dari tertular Covid-19'," kata Tonang.
"Misalkan hasilnya positif orang-orang yang pernah kontak erat harus karantina mandiri 14 hari, itu seperti nyencang (menahan) orang selama 14 hari. Kita harus berpikir jernih, karantina mandiri itu bukan paksaan tapi kewajiban sosial," imbuhnya.