Sederet Alasan Nadiem Izinkan Buka Sekolah di Zona Kuning

CNN Indonesia
Minggu, 09 Agu 2020 19:06 WIB
Mendikbud Nadiem Makarim berusaha menekan dampak negatif pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan sekolah selama pandemi corona di Indonesia.
Mendikbud Nadiem Makarim berusaha menekan dampak negatif pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan sekolah selama pandemi corona di Indonesia. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim punya sejumlah pertimbangan dalam kebijakan membuka kembali aktivitas sekolah tatap muka di zona kuning. Salah satunya untuk meminimalisir ragam dampak negatif pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tengah pandemi.

Dengan demikian setidaknya terdapat 276 Kabupaten/Kota di zona kuning dan hijau yang diizinkan kembali membuka sekolah. Sementara 238 Kabupaten/Kota lainnya yang berada di zona oranye dan merah masih dilarang karena berisiko tinggi terkait penularan virus corona (covid-19).

Kendati demikian, Nadiem menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan bersifat mutlak. Artinya, ketika Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan setempat belum siap. Maka pembukaan sekolah di zona kuning tak harus dilakukan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, pihak sekolah harus memaklumi keputusan orang tua yang tidak mengizinkan anaknya kembali sekolah tatap muka, sebab masih masih parno terhadap penularan covid-19 di sekolah.

Dampak PJJ 'Negatif' Bagi Siswa

Nadiem mengatakan PJJ memiliki efek tak baik bagi pencapaian mutu pembelajaran dan mental peserta didik dalam periode kedepannya.

"Efek daripada PJJ secara berkepanjangan itu bagi siswa adalah efek yang bisa sangat negatif dan permanen," kata eks bos Gojek itu saat konferensi pers secara daring pada Jumat (7/8) lalu

Beberapa efek negatif tersebut diantaranya adalah, tingginya ancaman putus sekolah. Sebab, PJJ dapat menimbulkan kemungkinan persepsi orang tua yang berubah terkait peran sekolah dalam proses pembelajaran, yang dirasa tidak optimal.

Kemudian, ancaman penurunan capaian pelajaran juga kemungkinan besar terjadi. Nadiem mengatakan, PJJ mengakibatkan tidak terserapnya materi dengan baik oleh siswa.

Selain itu, efek PJJ ini juga mengakibatkan peningkatan angka kekerasan pada anak, serta tekanan mental yang dirasakan peserta didik juga semakin meningkat.

88 Persen Zona Hijau dan Kuning Daerah 3T

Nadiem menyatakan 88 persen daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia berada di zona kuning dan hijau. Jika memenuhi syarat yang ditentukan, maka daerah tersebut bisa memulai pembelajaran tatap muka di tengah pandemi virus corona.

Selain itu, Nadiem mempertimbangkan tentang nasib peserta didik di daerah 3T yang mendapat kesenjangan akses digital, sebagai modal pembelajaran secara daring.

"88 persen daerah 3T di Indonesia yang sangat sulit melakukan PJJ itu ada di zona kuning dan hijau," kata Nadiem melalui rekaman video, Sabtu (8/8)

Dengan pemberlakuan sekolah tatap muka di dua zona covid-19 itu, kata dia, maka ada peluang besar bagi mereka untuk mengejar materi yang tertinggal.

Sejumlah siswa SDN 1 Inten Jaya mengerjakan tugas melalui gawainya di Kampung Lebak Limus, Lebak, Banten, Senin (20/7/2020). Sejumlah siswa yang tinggal di daerah pelosok tersebut kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) secara daring dan tepaksa menempuh perjalanan hingga satu kilometer dari kediamannya menuju ke dataran yang lebih tinggi agar mendapatkan jaringan internet guna mengerjakan tugas sekolah melalui gawai yang nantinya dikirim melalui aplikasi percakapan WhatssApp. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/agr/wsj.Sejumlah siswa SDN 1 Inten Jaya mengerjakan tugas melalui gawainya dengan keterbatasan internet di Kampung Lebak Limus, Lebak, Banten, Senin (20/7/2020). Foto: ANTARA FOTO/MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS

Risiko 'learning Loss'

Nadiem menyatakan PJJ selama ini tidak optimal dalam hal pencapaian mutu belajar para peserta didik. Ia menyebut potensi 'loss generation' yang mungkin akan terjadi sebab efek panjang PJJ ini.

"Studi mengatakan bahwa pembelajaran di kelas menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan dengan PJJ," Kata Nadiem, Jumat (7/8).

Sebagaimana diketahui, Pemerintah telah meniadakan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka sejak pandemi corona melanda Indonesia Maret lalu. Imbasnya, peserta didik diminta menerapkan PJJ di rumah dengan panduan dari pihak sekolah. 

PJJ diberlakukan untuk mencegah penyebaran dan penularan virus corona yang diterbitkan 24 Maret lalu. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19).

Kendala Guru

Nadiem juga menyinggung kendala guru dalam masa pandemi ini. Ia menilai waktu pembelajaran yang berkurang mengakibatkan guru tidak mungkin memenuhi jam mengajar yang optimal.

Selain itu, guru kesulitan mengelola PJJ dan cenderung fokus pada penuntasan kurikulum yang ada. Belum lagi masih harus ditambah kesenjangan kualitas akses yang digunakan untuk PJJ secara daring.

Oleh sebab itu, bagi sekolah yang masih memberlakukan PJJ. Nadiem memutuskan untuk memberikan kelonggaran jam ajar guru di tengah pandemi ini. Dengan kebijakan itu, kini guru tak harus memenuhi jam ajar dengan hitungan 24 jam dalam sepekan.

Nadiem menjelaskan relaksasi jam ajar tersebut bertujuan untuk mengurangi beban guru, sekaligus memberikan fleksibilitas guru dalam mengajar. Harapannya, guru dapat meningkatkan pengajaran yang interaktif selama melakukan PJJ.

"Jadi guru dapat fokus memberikan pelajaran interaktif tanpa harus mengejar pemenuhan jam," kata dia, Jumat (7/8).

(khr/gil)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER