Anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Demokrat, Anita Jacoba Gah mengatakan sekolah-sekolah di daerah terpencil Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluhkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) tak cukup memfasilitasi kebutuhan sekolah.
"Kami di NTT, hampir semua sekolah mengatakan kalau dana BOS tidak cukup. Dana BOS tidak bisa dipakai untuk apa-apa," ungkapnya di Gedung DPR, Senayan dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Kamis (27/8).
Hal tersebut, sambungnya, membuat kebijakan relaksasi dana BOS yang diberikan Kemendikbud tak bisa dinikmati sekolah di daerah terpencil NTT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan yang diterimanya, sekolah juga banyak mengeluhkan dana BOS kerap telat cair. Ia banyak mendengar cerita kepala sekolah harus berhutang untuk membayar upah guru honorer karena dana BOS belum cair.
"Di NTT [dana BOS] cairnya bulan April. Jadi untuk bayar guru honorer harus utang Januari, Februari, Maret," ceritanya.
Untuk itu ia meminta agar Kemendikbud mengawasi pencarian dana BOS dengan baik. Ia menduga sosialisasi pencairan dana BOS kerap tak sampai ke jajaran terbawah hingga ke sekolah.
"Saya tanya kepala dinas mereka tidak tahu sudah cair. Gimana kepala sekolah? Gimana orang tua? Di mana dana tidak mengendap? Pengawasan dari Kemendikbud itu seperti apa?" tambahnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Nadiem mengatakan pihaknya terus berupaya agar penyaluran dana bantuan formal maupun bantuan sosial bisa sampai ke sekolah dengan efisien. Ini ia lakukan dengan memusatkan seluruh bantuan kepada sekretariat jenderal, ketimbang membagi bantuan ke tiap direktorat jenderal. Meski demikian, dia mengamini bahwa masih ada kendala yang perlu dibenahi seperti yang terjadi di NTT.
"Untuk area NTT dan sebagainya itu masih PR besar kita. Itu kenapa bisa sampai di area tertentu secara konsisten kita telat," ujarnya.
Sebelumnya Nadiem bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan menetapkan penyaluran dana BOS diberikan langsung ke rekening sekolah.
Ini dilakukan untuk menyederhanakan birokrasi penyaluran dan memastikan dana cepat sampai ke sekolah. Terlebih karena kendala telat cair dana BOS sebelumnya sering dikeluhkan sekolah.
![]() |
Sebelumnya, di tempat terpisah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyatakan banyak kepala sekolah yang mengeluhkan dana BOS tak cukup untuk membiayai infrastruktur protokol kesehatan penanganan virus corona pada masa adaptasi kebiasaan baru (AKB) di sekolah.
Retno melihat belakangan ini dana BOS banyak dipergunakan untuk membayar gaji pegawai honorer dan kuota internet bagi para siswa dan guru selama proses pembelajaran jarak jauh (PJJ).
"Dana BOS menurut para Kepala Sekolah tidak cukup untuk membiayai penyiapan infrastruktur kenormalan baru. Daerah harus memikirkan pendanaan lain," kata Retno dalam agenda Rakornas Hasil Pengawasan Kesiapan AKB di Sekolah secara daring, Kamis (27/6).
Lebih lanjut, Retno melihat pelbagai fasilitas protokol kesehatan dalam masa AKB di sekolah terbilang masih minim.
![]() |
Ia lantas membeberkan temuan KPAI berdasarkan pengawasan terhadap 27 sekolah di berbagai daerah pada Agustus 2020, meliputi DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, Subang, Mataram, Bengkulu, dan lain-lain.
Sebagai contoh, Retno menyatakan dari 27 sekolah itu hanya enam yang sudah menyiapkan wastafel atau sarana pencuci tangan di depan setiap ruang kelas. Sisanya hanya mengandalkan wastafel yang sudah dimiliki di sekolah yang tersebar di toilet atau sarana wudu. Padahal, kata dia, wastafel tersebut harus ada di tiap ruang kelas untuk memudahkan siswa mencuci tangan setidaknya satu jam sekali.
"Protokol/SOP adaptasi kebiasaan baru masih minim dan perlu pendampingan daerah untuk membuat," kata Retno.
Tak hanya itu, Retno menyatakan praktik pembiayaan penyiapan infrastruktur AKB di sekolah ternyata hanya mengandalkan dana BOS. Padahal, dana tersebut oleh sekolah dialokasikan untuk pendanaan lainnya seperti paket kuota internet bagi siswa dan guru.
Selain itu, Retno juga meminta agar pemerintah melakukan pengetesan swab tes bagi seluruh guru maupun terhadap siswa bila hendak membuka sekolah. Hal Ini sebagai upaya melakukan pencegahan corona di lingkungan sekolah.
Ia lantas mencontohkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yang melakukan tes swab massal terhadap guru dan siswa sebelum sekolah dibuka. Hasilnya, tes menunjukkan 8 guru dan 14 siswa positif Covid-19.
"Data tersebut kemudian menjadi dasar pijakan pemerintah provinsi yang secara bijak menunda pembukaan sekolah. Hal ini patut dijadikan contoh oleh kepala daerah lainnya," kata Retno.
(fey, rzr/kid)