Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di samping jalan Tol Palembang-Indralaya (Palindra), Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (27/8). Asap kebakaran tersebut pun menutupi sebagian jalan Tol Trans Sumatera itu.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan, Ansori mengatakan kebakaran di samping tol tersebut baru terjadi hari ini.
Menurutnya, Satgas Penanganan Karhutla yang mengetahui adanya titik api langsung mendatangi lokasi dan melakukan upaya pemadaman dari jalur darat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Api memang berada di dekat jalan tol sehingga asapnya masuk ke dalam. Kita masih melakukan pemadaman, baik tim darat dan udara," kata Ansori.
Ansori berkata lahan tersebut merupakan lahan yang pernah terbakar pada 2019 lalu. Lahan tersebut tak dimanfaatkan oleh pemiliknya sehingga tidak terawasi.
"Lahan itu pernah terbakar tahun lalu, status milik perorangan tapi terlantar. Tanahnya mineral tidak sesulit gambut kalau dipadamkan," ujar dia.
Ansori belum bisa memastikan luas lahan yang terbakar di lokasi tersebut karena petugas masih dalam upaya pemadaman. Sementara 53 hektare lahan di lima lokasi yang terbakar sejak empat hari lalu telah berhasil dipadamkan.
Meskipun demikian, Ansori menyebut pihaknya kesulitan dalam memadamkan api. Penyemaian garam di awan untuk teknik modifikasi cuaca (TMC) terkendala tidak adanya awan cumulonimbus.
Meski penyemaian terus dilakukan, dalam beberapa hari terakhir belum juga turun hujan, khususnya di kawasan-kawasan yang rawan karhutla.
"Awannya malah ada di kawasan yang tidak terlalu rawan karhutla seperti Musi Rawas Utara," ujarnya.
Selain itu, asap karhutla di kawasan Ogan Ilir dan Banyuasin yang terjadi sejak empat hari lalu pun mulai masuk ke kawasan pemukiman.
Warga kawasan Ogan Permata Indah (OPI) Palembang, Andhiko Sidi Sutan (50) mengaku sudah beberapa hari ini merasakan asap pada malam hari. Meski tak terlalu pekat, asap tersebut mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Andhiko pun tidak mengizinkan keluarganya beraktivitas di luar ruangan apabila asap sudah mulai menebal di kawasan rumahnya.
"Memang tidak terlalu pekat, cuman bau terbakar sungguh terasa. Kami cemas jika kejadian asap kembali seperti tahun lalu," katanya.
Terpisah, Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Karhutla wilayah Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ferdian Krisnanto mengatakan pihaknya bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menghentikan penyemaian garam sementara waktu.
Menurut Ferdian, tak adanya awan cumulonimbus membuat penyemaian garam pun tidak akan membuahkan hasil.
"Sejauh ini tidak ada awan dan dua hari terakhir pesawat penyemaian pun sedang diservis. Besok akan ada pesawat baru yang datang untuk dioperasionalkan," kata Ferdian.
Ferdian menyebut penyemaian garam dijadwalkan 20 hari sejak 12 Agustus lalu. Namun penyemaian dihentikan hingga Senin (24/8) lalu. Selama 10 hari kerja, total 21.400 kilogram garam telah disemaikan.
Dari penyemaian tersebut, pihaknya berhasil melakukan TMC yang menghasilkan hujan sekitar 142 juta milimeter kubik.
Berdasarkan prakira BMKG, dua hari terakhir potensi hujan pun mengecil. Oleh karena itu, puncak kemarau bisa terjadi pada September 2020.
"Penyemaian garam TMC ini tidak selalu berhasil karena kita tidak bisa mengatur awan itu akan muncul di mana. Pantauan di lapangan, kondisi air saat ini memang mengering dan cepat berkurang karena sudah tidak ada hujan lagi," ujarnya.
(idz/fra)