Menag Tepis Isu RUU Ciptaker Bisa Pidanakan Kiai Pesantren

CNN Indonesia
Senin, 31 Agu 2020 19:55 WIB
Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan pesantren diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 2019 yang tidak memuat ketentuan sanksi pidana.
Menteri Agama Fachrul Razi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Agama Fachrul Razi menepis isu bahwa Omnibus Law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) membuka peluang pemidanaan terhadap ulama atau kiai pengasuh pondok pesantren yang tak memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Fachrul menegaskan bahwa penyelenggaraan pesantren tetap diatur Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Dengan demikian persoalan pendirian pesantren tetap mengacu pada UU tersebut.

"Tidak ada sanksi pidana," kata Fachrul dalam keterangan resminya, Senin (31/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kontroversi tersebut bermula ketika ketentuan pada Pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diubah. Perubahan tersebut termaktub dalam Pasal 68 RUU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Sementara Pasal 71 mengatur bahwa penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin, bisa dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 Miliar.

Fachrul menjelaskan meski ada pasal itu dalam RUU Ciptaker, namun UU Pesantren memiliki asas lex specialis. Artinya, asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Dalam UU Pesantren, lanjut dia, diatur bahwa pesantren bisa didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat.

Pendirian pesantren juga wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil 'alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.

Lalu, pendirian pesantren harus memenuhi unsur-unsur, yakni kiai, santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiyah dengan Pola Pendidikan Muallimin.

"Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada Menteri," kata Fachrul.

Apabila semua syarat tersebut telah terpenuhi, Menteri Agama akan memberikan izin terdaftar dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar atau SKT.

Fachrul mengingatkan bahwa pengajuan pendaftaran tidak harus langsung ke Kantor Kemenag di Jakarta. Ia menyatakan pendaftaran dilakukan berjenjang melalui Kanwil Kemenag Provinsi.

"Dan yang terpenting, tidak mengatur sanksi pidana. Hanya, bagi pesantren yang menyalahi komitmen pendiriannya, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pesantren, akan dicabut SKT-nya," kata dia.

(rzr/wis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER