Polisi menetapkan pimpinan ormas Paguyuban Tunggal Rahayu Sutarman sebagai tersangka penggunaan gelar akademik tanpa hak.
Sutarman terancam hukuman penjara selama 10 tahun. Ia kini ditahan Mapolres Garut, Jawa Barat.
"Sudah dilakukan pemeriksaan dan sekarang dinaikkan tersangka atas nama Pak Sutarman. Untuk dia itu sudah dilakukan penahanan," tutur Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Erdi A Chaniago di Bandung, Kamis (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erdi mengatakan Sutarman dalam perkara ini dikenakan pasal terkait penggunaan gelar akademiknya.
Pelanggaran yang diduga dilakukan pria yang memiliki panggilan Cakraningrat itu adalah melanggar UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Pasal yang diduga dilanggar adalah Pasal 28 ayat (7) yang berbunyi: Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar profesi, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi. Ancaman hukuman dalam pasal ini mencapai 10 tahun penjara.
"Penahanan ini sekarang terkait masalah Undang-Undang tindak pidana penggunaan tanpa hak gelar akademik vokasi," ujar Erdi.
Menurut Erdi, pihak penyidik Satreskrim Polres Garut tengah memfokuskan tindakan pidana yang dilakukan Sutarman.
"Kita fokuskan dulu yang sudah jelas gelar profesor dan sebagainya itu bohong. Sehingga itu dinaikkan statusnya tersangka dan dilakukan penahanan," ucapnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Sutarman yang tengah ramai jadi perbincangan karena kemunculan Paguyuban Tunggal Rahayu, memiliki sejumlah titel. Ia menyebut jika gelar akademis yang disandangnya itu berasal dari alam.
Selain itu, Sutarman juga melontarkan pernyataan bahwa gelar berupa profesor, doktor, insinyur, dan sarjana hukum diberikan Sukarno dan Hatta.
Padahal, ia sama sekali tak menempuh pendidikan formal untuk memiliki sejumlah titel mentereng itu. Dengan berkuliah di alam, Sutarman mengklaim bisa mendapat berbagai gelar akademis itu.
Sebelumnya, polisi menyebut masih menyelidiki kasus organisasi masyarakat Paguyuban Tunggal Rahayu yang mengubah lambang Garuda Pancasila di Garut.
Kasus tersebut naik menjadi penyidikan masih dengan sangkaan penipuan.
"Iya, masih penipuan Pasal 378 dan 379 A," ucap Erdi, Jumat (11/9).
Erdi menerangkan saat ini pihak penyidik juga masih terus mengembangkan kasus ini berkaitan pengubahan lambang negara. Ia menyebut hal itu akan berkembang dalam proses penyidikan.
"Ya, ini sedang kita dalami. Untuk sementara kita sudah menemukan pasal yang dipersangkakan itu dulu (penipuan). Nanti kita berkembang mendalami masalah logo dan sebagainya," ujarnya.
Untuk diketahui, Paguyuban Tunggal Rahayu menggunakan lambang negara, tetapi kepala Garuda Pancasila dibuat menghadap ke depan dan bermahkota disertai tulisan "Nata Logawa" yang mengganti semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
Padahal, lambang negara Indonesia sudah diatur dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Tindakan yang dilakukan paguyuban tersebut bertentangan dengan Pasal 12 Ayat 1 dan 2PP No. 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara juga bertentangan dengan Pasal 46 dan 57 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang negara, serta Lagu Kebangsaan.
(hyg/kid)