Pembentukan Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2020, menuai kritik.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie berpendapat pembentukan Pam Swakarsa berpotensi menimbulkan benturan di antara masyarakat sipil. Pam Swakarsa juga memperlihatkan watak pemerintah yang semakin mengutamakan penggunaan pendekatan keamanan sebagai jawaban atas pelbagai persoalan yang tengah dialami.
"Penggunaan pendekatan ini (Pam Swakarsa) menjadi cerminan upaya pemerintah untuk memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang justru memicu alarm demokrasi, karena cenderung membatasi kebebasan masyarakat," ucap Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Minggu (20/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ikhsan, Pam Swakarsa yang notabene mengemban fungsi kepolisian terbatas, berimplikasi terhadap potensi pembenturan sesama masyarakat sipil berpeluang terjadi. Potensi ini tentu tidak muncul dengan sendirinya.
Kata dia, berkaca pengalaman masa reformasi 1998 lalu, ketika Pam Swakarsa kala itu untuk mengamankan Sidang Istimewa di MPR/DPR, kemudian menyerang mahasiswa dan masyarakat yang melakukan aksi di Gedung MPR/DPR.
Selain itu, mengacu kepada salah satu tujuan Pam Swakarsa pada Pasal 2 huruf a Perkap No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa yang menyebutkan Pam Swakarsa bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman di lingkungan perusahaan, kawasan dan/atau permukiman.
"Melalui tujuan ini, potensi perbenturan antar masyarakat sipil atas nama keamanan dan ketertiban berpeluang terjadi pada konteks konflik korporasi dengan masyarakat setempat yang rentan terjadi dan pengamanan demonstrasi mahasiswa," katanya.
Dengan mengacu pada tujuan Pam Swakarsa tersebut, lanjut Ikhsan, potensi perbenturan antar masyarakat semakin terlihat dengan keanggotaan Pam Swakarsa yang terbilang luas.
Bukan hanya Satpam dan Satkamling, seperti yang disebutkan pada Pasal 3 ayat (2), tetapi juga yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal berupa Pecalang di Bali, Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, Siswa Bhayangkara, dan Mahasiswa Bhayangkara, seperti yang disebutkan Pasal 3 ayat (4) Perkap Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa.
"Pertanyaan umumnya tentu, seberapa tidak amankah kondisi kita sekarang? Mengingat kita tidak berada dalam kondisi darurat yang berkaitan dengan tertib sosial. Dengan demikian, pada dasarnya justru tidak terdapat urgensi pembentukan Pam Swakarsa," tutur Ikhsan.
Lebih jauh, ia menerangkan, ketiadaan jawaban konkret soal ini hanya akan memunculkan dugaan politik akomodir terhadap institusi alat negara oleh pemerintah akan terlihat jelas, sehingga pendekatan keamanan menjadi primadona pemerintah.
Ikhsan menuturkan, dasar hukum pembentukan Pam Swakarsa ini juga dipertanyakan, karena hanya berdasarkan Peraturan Kapolri.
Padahal, lanjut dia, ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri menyebutkan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa sebagai salah satu pengemban fungsi kepolisian. Pada ayat (2)-nya kemudian menyebutkan bahwa pelaksana fungsi kepolisian, termasuk pengamanan swakarsa, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
"Sementara Peraturan Kapolri tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang kemudian menjadi UU No. 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyoroti perubahan seragam satpam yang menjadi serupa dengan polisi dan disertai kepangkatan seperti yang diatur dalam Perkap Pam Swakarsa.
Menurutnya, hal itu justru berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan baru oleh oknum tertentu, seperti meluasnya razia bodong karena Satpam merasa punya kewenangan layaknya Polri.
"Potensi ini terbuka terjadi di daerah-daerah yang minim informasi perihal kebijakan ini," ungkap Bonar.
Bonar mengatakan, alasan perubahan seragam agar tumbuh kebanggaan satpam dan dekat dengan Polri tentu tidak memiliki dasar yang kuat, dan subjektif. Setiap profesi tentu memiliki kebanggaan masing-masing.
"Kebijakan yang secara tidak langsung mengarah kepada integrasi Satpam ke bawah Polri ini justru mengingatkan kita dengan integrasi Polri di bawah atap ABRI dahulu yang memang terbukti tidak efektif lantaran tupoksi yang berbeda dan memicu pelbagai kecemburuan yang tidak konstruktif untuk perkembangan tiap-tiap institusi," katanya.
Bonar lebih jauh menuturkan, ketimbang membentuk Pam Swakarsa, memastikan agenda reformasi Polri terus berjalan justru lebih urgen. Pelbagai dugaan praktik penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap warga sipil menjadi cerminan belum tuntasnya reformasi internal Polri.
"Praktik-praktik tersebut mencerminkan tengah tumbuh suburnya kultur kekerasan dan kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam melakukan proses hukum. Pelbagai kasus dugaan penyiksaan dan kekerasan oleh kepolisian tersebut justru menjadi sesuatu yang paradoks," katanya, "karena Polri yang seharusnya memelihara keamanan, memberikan perlindungan, dan pengayoman terhadap masyarakat, tetapi justru markas kepolisian lah yang menjadi tempat tidak aman bagi warga sipil."