DPR Minta Jokowi Terbitkan Perppu Pilkada 2020

CNN Indonesia
Jumat, 25 Sep 2020 17:09 WIB
Wakil Ketua DPR mengatakan PKPU yang baru terbit masih berisiko kalah saat digugat ke MA jika Presiden tak mengeluarkan Perppu.
Simulasi Pemungutan Suara Pilkda 2020 dengan Penerapan Protokol Kesehatan Covid-19 di Kantor Pusat KPU, Jakarta, 22 Juli 2020. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi virus corona (Covid-19).

Menurutnya, Perppu tersebut dibutuhkan agar peraturan di bawahnya seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dapat memuat aturan yang selaras, terutama soal ketegasan pelanggaran protokol.

"Seharusnya dengan Perppu, karena PKPU harus selaras dengan Undang Undang. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang yang lebih tinggi " Kata Azis dalam keterangannya yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (25/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Azis menyatakan perppu juga dibutuhkan untuk mencegah PKPU baru yang diterbitkan digugat ke Mahkamah Agung (MA), terutama terkait larangan pengumpulan massa.

Dia menilai PKPU baru berpotensi digugat ke MA karena Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan dasar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember mendatang masih mengizinkan kerumunan massa dilakukan dalam masa kampanye.

"Jika pemerintah mau menerbitkan perppu maka masih ada waktu untuk dibahas di DPR" ujar pria yang juga Wakil Ketua Umum Golkar tersebut.

Bukan hanya Azis, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Gerindra Sodik Mudjahid juga mendorong agar Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Pilkada yang memberi ruang sanksi tegas bagi pelanggar protokol Covid-19.

"Memang kalau perlu ada perppu, tapi bukan perppu penundaan pilkada, perppu adalah memberikan ruang diskualifikasi bagi pelanggar itu," kata Sodik kepada CNNIndonesia.com, Jumat.

"Tapi bukan untuk penundaan pilkada, tapi untuk pelaksanan pilkada yang lebih sesuai protokol Covid-19," imbuhnya.

Sodik mengaku menyayangkan, peraturan baru tentang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tidak memuat sanksi tegas berupa diskualifikasi bagi pasangan calon yang melanggar protokol pencegahan.

Padahal, klaimnya, mayoritas anggota Komisi II DPR RI telah meminta KPU agar memuat sanksi diskualifikasi bagi paslon pelanggar protokol Covid-19.

"Poin saya, menyayangkan dalam PKPU tidak dimasukan [sanksi] diskualifikasi bagi pelanggar protokol Covid-19, pelanggaran yang maksimum. harusnya ada, aturannya adalah bertahap dan untuk pelanggaran berat harusnya kita ada [diskualifikasi]," ucap Sodik.

Ketua Badan Anggaran DPR Azis Syamsuddin diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/6). Politisi Partai Golkar itu diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik dengan tersangka Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan pengusaha Made Oka Masagung. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama/18Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Untuk diketahui, peraturan baru tentang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tidak memuat sanksi tegas berupa diskualifikasi bagi pasangan calon yang melanggar protokol pencegahan Covid-19.

Peraturan baru itu merupakan hasil rapat yang dilakukan beberapa kali oleh pemerintah, DPR, KPU, Bawaslu dan pihak terkait lainnya. Kesepakatan lalu dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 13 tahun 2020 yang diundangkan pada Rabu (23/9).

Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin menyebut pemberian sanksi terhadap para pelanggar selama gelaran Pilkada Serentak 2020 terbentur undang-undang.

Dia mengaku pihaknya ingin sanksi dapat diberikan lebih tegas, namun PKPU Nomor 13 tahun 2020 yang baru diterbitkan Kamis (24/9), belum memberi kewenangan terhadap Bawaslu.

Beleid yang dimaksud Afif adalah UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

"Terus terang saja, undang-undang yang kita pakaikan memang sama. PKPU menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Nah, banyak hal yang kita mau progresif kemudian mentok di undang-undang," ujar Afif dalam diskusi daring membahas kampanye Pilkada 2020 di masa pandemi, Kamis (24/9).

(kid/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER