ANALISIS

PSBB DKI, Totalitas Lawan Corona dan Langkah Politik Anies

CNN Indonesia
Sabtu, 26 Sep 2020 11:38 WIB
Epidemiolog menyebut PSBB tanpa mengurangi mobilitas warga, tak akan memberikan dampak signifikan penurunan kasus corona.
Kendaraan melintas di Underpass mampang saat pemberlakuan PSBB di Jakarta, Jumat, 25 September 2020. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperpanjang masa pemberlakuan PSBB hingga 11 Oktober 2020 untuk menekan laju kasus positif COVID-19 di Jakarta. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia --

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan menahan lebih lama tarikan 'rem darurat' dengan memperpanjang PSBB Jakarta selama dua pekan hingga 11 Oktober 2020. Wagub DKI, Ahmad Riza Patria mengklaim keputusan ini sudah mendapat restu pemerintah pusat.

Ahli Epidemiologi dari Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad menilai PSBB DKI yang diperpanjang pun tak akan berjalan efektif. Alasannya, pola mobilitas warga DKI terpantau tak menurun signifikan.

Epidemiolog yang akrab disapa Donny itu mengatakan PSBB bisa efektif menurunkan kasus corona jika berdampak pada mobilitas masyarakat. Ia mengatakan dibutuhkan 60-70 persen penurunan mobilitas masyarakat untuk memutus mata rantai corona.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau mobilitasnya tidak banyak, maka efek yang diharapkan tidak bisa terjadi. Kalau bicara tentang itu butuh 60-70 persen orang untuk mengurangi mobilitasnya untuk bisa bekerja dengan baik," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/9).

Sebelumnya, Anies mengklaim penambahan kasus di DKI melandai dalam beberapa waktu belakangan. Penambahan kasus yang tadinya mencapai 3.846 orang atau 49 persen, katanya menurun menjadi 1.453 orang atau 12 persen.

Namun demikian, mengutip grafik kasus harian pada situs corona.jakarta.go.id, angka kenaikan harian di pertengahan menjelang akhir bulan September masih tinggi dibandingkan kasus di bulan sebelumnya.

Pada Agustus, penambahan kasus harian mayoritas masih di bawah seribu orang. Paling rendah kasus ditemukan pada 5 Agustus dengan 357 kasus. Lonjakan tinggi ditemukan pada 30 Agustus dengan 1.114 kasus. Disusul 31 Agustus dengan 1.029 kasus dan 29 Agustus dengan 888 kasus.

Sedangkan di bulan September kasus harian berkisar di angka 842 hingga 1.505 kasus. Angka tertinggi ditemukan pada 16 September dengan 1.505 kasus, pekan pertama PSBB kembali diterapkan.

Selama PSBB berlangsung selama 14-24 September, ditemukan 12.774 kasus baru di DKI. Jika dibandingkan dengan kasus pada 10 hari sebelumnya, angkanya masih lebih tinggi. Pada 3-13 September ditemukan ada 12.201 kasus.

Ia menjelaskan ketika mobilitas berkurang hingga 70 persen, penyebaran virus bahkan bisa saja dihentikan. Dalam hal ini, menurutnya penerapan PSBB akan memberi dampak serupa dengan fenomena herd immunity atau kekebalan kelompok.

Ketika mobilitas masyarakat dihentikan secara masif, katanya, virus akan sulit menemukan orang untuk ditulari. Dengan begitu penyebaran virus dapat menurun dengan signifikan, dan bahkan berhenti. Namun langkah ini harus dilakukan dengan maksimal.

"Karena kemungkinan besar orang yang infeksius sudah tidak ada lagi. Kalau sudah dua kali masa inkubasi, kemungkinan penularannya sudah bisa dihentikan," jelasnya.

Sedangkan pada kasus DKI Jakarta sekarang, kata dia, PSBB tidak berdampak signifikan pada penurunan kasus. Dia menduga mobilitas masyarakat tidak menurun secara masif pula. Berdasarkan data Google Mobility per 21 September, mobilitas masyarakat di DKI Jakarta menurun mulai 14 sampai 62 persen selama pandemi corona melanda DKI dan Indonesia.

Rinciannya turun 14 persen di sektor belanja bahan pokok, 33 persen di sektor retail, 36 persen di sektor transit, 38 persen di sektor perkantoran, dan 62 persen pada kegiatan di taman. Sedangkan kenaikan mobilitas ditemukan di perumahan hingga 18 persen.

Langkah politis


Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan aksi Anies bisa dilihat dari sisi politis. Langkah Anies tak lepas dari sejarah politik yang melekat erat pada sosoknya.

Anies dipandang sebagai sosok yang berlawanan dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurut Adi, ini membuatnya akrab digandrungi dukungan masyarakat yang anti-rezim pemerintahan saat ini. Seperti diketahui, Presiden Jokowi sendiri lebih cenderung memilih PSBB berskala mikro atau komunitas.

"Itu standing position yang dipertahankan Anies. Ada ceruk pasar pemilih, masyarakat yang anti pemerintah yang terus dijaga dan dirawat oleh Anies dengan membuat kebijakan yang relatively berbeda dengan pemerintah," katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/9).

Jika dipandang dari sisi elektoral, sebenarnya tak banyak berdampak dan memberikan keuntungan. Ia mengatakan untuk menaikkan posisinya secara elektoral, Anies perlu melakukan upaya lain seperti merangkul elit pemerintah dan partai politik.

Namun langkah yang konsisten dilakukan Anies ini dinilai ampuh dalam memelihara dukungan politik dari kalangan yang selama ini setia mendukungnya. Sehingga posisi elektoral Anies pun cenderung stabil, tak naik maupun turun.

Meski begitu, Adi mengatakan sesungguhnya pemerintah daerah tidak bisa berjalan sendiri dalam keputusan penerapan PSBB. Karena dalam kondisi wabah, pengendalian corona sangat bergantung dengan arah kebijakan pemerintah pusat.

Dalam hal ini pemerintah pusat berupaya menyeimbangkan penanganan krisis kesehatan dan ekonomi. Sehingga sekeras apapun upaya Anies menerapkan PSBB, tidak akan bisa dilakukan secara ketat jika pemerintah pusat tidak merestui.

(fey/ain)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER