Pemerintah telah menyerahkan sejumlah perbaikan beberapa ketentuan draf Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme untuk dibahas bersama dengan DPR.
Dalam dokumen yang diperoleh CNNIndonesia.com, beberapa ketentuan yang disempurnakan antara lain berupa penambahan definisi aksi terorisme, penambahan ketentuan mengenai kegiatan/ operasi lainnya yang diselenggarakan melalui operasi militer selain perang, hingga penghapusan frasa 'secara langsung' terkait penindakan terorisme.
Pada draf Rancangan Perpres itu disebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Untuk mengatasi terorisme, TNI melaksanakan fungsi mulai dari penangkalan, penindakan dan pemulihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penangkalan dilakukan melalui kegiatan dan/atau operasi intelijen, teritorial, informasi dan operasi lainnya. Serta dilakukan oleh satuan TNI yang bertugas menyelenggarakan operasi khusus dan/atau satuan TNI lainnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkalan ini ditetapkan oleh Panglima.
Sedangkan fungsi penindakan dilakukan TNI berdasarkan perintah Presiden dan pemulihan dilaksanakan di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan substansi yang ada pada draf Rancangan Perpres tersebut mengedepankan pola perang. Menurut dia, hal itu justru bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memilih sistem pendekatan penegakan hukum.
"Draf Perpres mengatur Pasal-pasal yang bermasalah. Kalau disahkan akan menempatkan pola penanganan terorisme lebih mengedepankan pola war model. Padahal UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme lebih memilih model penanganan terorisme sistem penegakan hukum," kata Al Araf dalam diskusi webinar 'Menyoal Peran Internal Militer dan Problematika Reformasi TNI, Minggu (4/10).
Ia memberikan sembilan catatan prinsip terkait pelibatan militer dalam operasi selain perang, termasuk dalam mengatasi terorisme. Pertama, operasi militer selain perang harus didasarkan pada asas legalitas. Dalam konteks ini, ia menyinggung Tap MPR Nomor VII/2000 yang memandatkan pembentukan UU Perbantuan Militer.
"Sayangnya sampai sekarang UU Perbantuan (Militer) tidak dibuat," ucapnya.
Prinsip kedua adalah pelibatan militer dalam operasi selain perang tetap berdasarkan atas keputusan presiden atau politik negara. Pilihan pelibatan militer dalam operasi non perang merupakan pilihan terakhir. Di mana, terang dia, keputusan tersebut diambil ketika kapasitas sipil sudah tidak bisa mengatasi situasi yang ada.
Berikutnya adalah prinsip pelibatan yang bersifat sementara dan memiliki asas manfaat yang jelas.
"Kemudian proporsional, tak boleh berlebihan. Dalam konteks operasi militer selain perang yang selama ini terjadi, kita bisa lihat bagaimana tugas-tugas tersebut tidak proporsional," imbuhnya.
Prinsip ketujuh adalah kriteria objektif terkait eskalasi ancaman. Pelibatan militer dilakukan ketika ancaman terlihat nyata serta tak bisa lagi ditangani kapasitas hukum maupun sipil.
Selanjutnya prinsip kedelapan adalah kriteria subjektif terkait dengan kemampuan institusi sipil dan Polri dalam menangani terorisme.
"Kesembilan, tugas militer dalam operasi nonperang tidak boleh melemahkan tugas dan fungsi militer sesungguhnya dalam perang," ucap dia.
Ia berujar dengan substansi aturan yang ada saat ini, justru akan menambah masalah baru dalam konteks reformasi di tubuh TNI.
"Perpres akan menjadi masalah baru dalam konteks reformasi TNI dan akan menimbulkan kemunduran dalam reformasi jika Perpres dengan substansi yang sekarang ini disahkan oleh DPR dan pemerintah," tandas Al.
Sementara itu, Ahli Hukum Terorisme Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah, mengkritik minimnya penjelasan terkait beleid penangkalan, penindakan dan pemulihan yang menjadi tugas TNI dalam mengatasi terorisme sebagaimana draf Rancangan Perpres tersebut.
Menurut dia, ketiga hal tersebut menjadi norma baru yang justru melampaui UU Nomor 5/2018.
"Dari Rancangan perpres yang kita baca, apa yang bisa kita simpulkan bahwa Raperpres ini pengaturannya kabur, multitafsir, dan tidak dirumuskan batas fungsinya," ungkapnya.
Substansi yang diatur dalam draf Rancangan Perpres itu, menurut dia, berpotensi merusak sistem penegakan hukum karena belum ada hukum formil maupun materil yang mengaturnya.
"Kalau memang ada anggota TNI yang kemudian melakukan pelanggaran atas penindakan terorisme, itu disidangkan di mana, diadili di mana, hukum acara pakai yang mana," jelas Milda.