Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny Kabur Harman menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) harus ditolak. Benny menyebut Omnibus Law Ciptaker tak memberi perlindungan bagi pekerja dan hanya menggelar karpet merah kepada pengusaha.
"Oleh sebab itu, saya mengatakan RUU ini harus ditolak," ujar Benny dalam diskusi 'Kontroversi RUU Ciptaker: Percepatan Ekonomi dan Rasa Keadilan Sosial' yang berlangsung secara daring, Minggu (4/10).
Benny menyatakan Omnibus Law Ciptaker cacat prosedur dan substansi. Ia menyebut RUU tersebut juga tak memiliki paradigma yang jelas karena terlalu banyak kepentingan dalam penyusunannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anggota Komisi III DPR itu pun heran dengan proses pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU Ciptaker yang dilakukan pada Sabtu (3/10) malam. Menurutnya, situasi seperti itu tak pernah terjadi di DPR saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat presiden RI dua periode.
"Dulu kita berkuasa, tapi semua kita tahu SBY dulu jadi presiden itu enggak pernah ada pembahasan RUU begini, dikasih keleluasaan di DPR untuk dibahas dan tidak pernah ada RUU yang diputuskan pada Sabtu atau Minggu, enggak ada," ujarnya.
Benny berkata RUU Ciptaker bisa tak berlaku meskipun DPR telah mengesahkannya dalam Rapat Paripurna 8 Oktober mendatang jika rakyat bersatu melakukan perlawanan untuk mendesak pemerintah meninjau ulang penerapan aturan yang penuh masalah itu. Menurut Benny, situasi tersebut pernah terjadi di era Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan juga SBY.
"Dulu zaman Presiden Abdurrahman Wahid itu sudah disetujui oleh DPR sudah ditandatangani presiden Abdurrahman Wahid, tetapi karena kuatnya tekanan publik kuatnya tekanan masyarakat jadi batal dilaksanakan. Ada kasus kita dulu, UU pilkada zaman Presiden SBY, kuat tekanan masyarakat, beliau mencintai rakyat, maka beliau keluarkan perppu mengatakan tidak berlaku UU itu," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan RUU Ciptaker membuka peluang tindak pidana korupsi terjadi. Menurutnya, peluang itu terlihat dari pemberian kewenangan kepada polisi untuk memberikan izin usaha serta pengawasan terhadap bidang usaha pengamanan.
"Ada peluang korupsi atau abuse of power dalam RUU ini. Contohnya, memberikan wewenang kepada polisi untuk memberikan izin usaha dan pengawasan terhadap bidang usaha pengamanan," kata Asfinawati.
Asfinawati menduga pemberian kewenangan tersebut terkait dengan langkah Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan Peraturan Kepolisian Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa (PAM Swakarsa).
Menurutnya, proses penyederhanaan izin usaha seharusnya tak diikuti dengan pemberian kewenangan memberikan izin usaha serta pengawasan terhadap bidang usaha pengamanan kepada polisi karena berpotensi mengancam kebebasan sipil.
"Ketika nanti ada konflik agraria, masyarakat adat, dengan buruh kemudian satpam di garda depan memukul lapornya ke polisi. Dalam pengalaman kami, tanpa peraturan itu saja sudah sulit mendorong laporan masyarakat agar ditindaklanjuti oleh kepolisian," ujarnya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan RUU Ciptaker menurunkan standar perlindungan terhadap buruh perempuan yang sebelumnya telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurutnya, hal itu terlihat dalam sejumlah pasal yang dituangkan di klaster ketenagakerjaan.
"Di klaster ketenagakerjaan, saya rasa, bagaimana penurunan perlindungan bagi hak buruh, terutama buruh perempuan, karena ada beberapa hak khsusunya yang diatur UU Ketenagakerjaan tentang hak perempuan menjadi menurun," kata Tiasri.
Menurutnya, salah satu pasal yang menurunkan standar perlindungan buruh perempuan ialah terkait cuti haid, di mana salah satu pasal di klaster ketenagakerjaan menyebutkan secara jelas bahwa perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membayar upah buruh perempuan yang mengambil cuti haid secara penuh
"Sedangkan di UU Ketenagkerjaan, cuti haid diberikan dua hari, mendapatkan upah penuh dan jadi tanggung jawab perusahaan membayarkan pekerja perempuan yang cuti haid," ujarnya.
Tujuh fraksi, PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PAN dan PPP setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Ciptaker ke Rapat Paripurna DPR, pada 8 Oktober mendatang, sementara dua fraksi, Demokrat dan PKS menolak. Keputusan tersebut diambil dalam Raker Pengambilan Keputusan Tingkat I RUU Ciptaker, pada Sabtu (3/10) malam.
Meskipun mendapat penolakan dari dua fraksi, RUU Ciptaker tetap akan dibawa ke Paripurna untuk disahkan. Sementara itu, aliansi buruh akan melakukan mogok nasional mulai 6 sampai 8 Oktober 2002. Kelompok tani juga akan melakukan aksi serupa di sejumlah daerah.
(mts/fra)