Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengkritik langkah DPR dan pemerintah yang terus membahas hingga mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja (Ciptaker).
Padahal, pembuatan beleid tersebut mendapatkan kritik luas dari masyarakat hingga muncul gelombang aksi, terutama dalam tiga hari terakhir. Terkait hal tersebut, AJI pun menilai ini bukan kali pertama lembaga pembuat undang-undang mengabaikan desakan rakyat.
Ia pun menyinggung revisi UU KPK yang telah disahkan tahun lalu. Pada tahun lalu, revisi UU KPK yang juga dibarengi rencana pengesahan RKUHP dan RUU kontroversial lain mendapatkan resistensi luar biasa dari rakyat di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dua kali setidaknya terjadi di rezim ini dan didukung partai pendukungnya: PDIP, PKB, NasDem, dan kawan-kawan. Mereka menunjukkan secara terbuka, partai-partai ini mengabaikan aspirasi rakyat," ujar Ketua AJI Indonesia Abdul Manan melalui demo virtual, Kamis (8/10).
"Rezim ini hanya akan dikenang sebagai pemerintahan yang meninggalkan jalan baru, jalan tol baru, proyek-proyek baru, tapi merusak warisan yang sudah diberikan reformasi," lanjut Abdul.
Menurutnya hal tersebut menjadi bukti kemunduran perlindungan dan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat, khususnya bagi pekerja dalam UU Ciptaker.
Menurutnya hal ini jauh bertentangan dengan sikap Jokowi dan partai pendukungnya ketika pemilihan umum (pemilu) lalu.
"Jelang pemilu saja mengemis dukungan. Tapi situasi seperti ini mereka bisa katakan forget it dengan aspirasi publik. Ini terjadi dua kali, dan akan terjadi lagi sampai mungkin rezim ini berganti," katanya.
Beberapa poin pada UU Cipta Kerja yang pihaknya kritisi adalah terkait perjanjian kerja, pengupahan, sampai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja.
Khusus serikat, ia mengatakan itu menjadi masalah pula bagi pekerja media. Ia mengatakan tidak banyak media massa yang memiliki serikat pekerja.
"Padahal kita tahu jumlah serikat media kita itu sangat rendah. Ya, kalau menurut data federasi kurang dari 30 media yang punya serikat pekerja," ujar Abdul.
Sehingga pada akhirnya, pekerja harus mewakili diri sendiri ketika berunding dengan pengusaha. Menurutnya ini bisa berpotensi menghasilkan perjanjian yang justru merugikan hak pekerja.
Misalnya pada perundingan jumlah cuti. Ia menyebut pengusaha tentu akan merundingkan jumlah cuti seminimum mungkin, untuk memastikan produktivitas pekerja maksimal.
Tanpa berserikat, kata dia, pekerja tidak akan memiliki kekuatan yang seimbang dengan pengusaha untuk membela haknya.
"Karena kita tahu ketika pekerja berhadapan dengan pengusaha, tidak dalam posisi yang equal. Bahkan kalaupun ada serikat pekerja, belum tentu equal," lanjutnya.
Sedangkan di lingkup pekerja media, ia menilai pemerintah juga jarang memastikan jika pengusaha mematuhi ketentuan pada UU Ketenagakerjaan. Seperti memastikan upah yang diterima sesuai Upah Minimum Provinsi atau Regional, sampai pemenuhan hak cuti.