Keberadaan naskah final Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja masih menjadi tanda tanya. Sepekan telah disahkan, naskah final belum diberikan ke publik. Bahkan ada lima versi yang saat ini beredar di masyarakat.
Pengamat hukum berpendapat ada upaya mengecoh publik lewat berbagai draft yang beredar di media sosial di balik UU yang menurut pengamat cacat formil.
Omnibus Law Cipta Kerja menyita perhatian publik setelah disahkan DPR dalam Rapat Paripurna dadakan pada Senin (5/10). Sebanyak tujuh fraksi, PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, dan PPP setuju, sedangkan dua lainnya, Demokrat dan PKS menolak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengesahan diwarnai langkah Fraksi Demokrat yang memilih walk out. Di sisi lain, Omnibus Law tersebut disahkan saat sebagian besar anggota dewan tak memegang naskah asli UU tersebut.
Aksi unjuk rasa pun digelar di sejumlah daerah. Sebagian berujung ricuh usai tindakan represif kepolisian. Pemerintah merespons gelombang massa dengan menuduh dilatarbelakangi disinformasi dan hoaks.
"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dilatarbelakangi disinformasi substansi info dan hoaks media sosial," kata Presiden Joko Widodo, Jumat (9/10) petang.
Di saat yang sama, pemerintah tidak menunjukkan naskah final Omnibus Law UU Cipta Kerja yang mereka klaim paling asli. Saat itu, ada tiga naskah yang beredar di publik, yakni 1.028 halaman, 905 halaman, dan 1.052 halaman.
DPR beralasan naskah final masih diperbaiki dalam sisi pengetikan. Namun pada Senin (12/10), Sekjen DPR RI Indra Iskandar bilang ada penambahan jumlah halaman menjadi 1.035 halaman di naskah final.
Tak berselang 24 jam, Indra kembali memberi pernyataan. Dia bilang saat ini draf final Omnibus Law UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman.
"Iya, dengan format [kertas] legal maka jadi 812 halaman," ucap Indra lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Senin (12/10) malam.
Ketua YLBHI Asfinawati mencium kejanggalan dari proses pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja. Ia menyebut Omnibus Law cacat formil karena menerabas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Asfinawati mencatat naskah akademik baru dibuat saat RUU mulai dibahas. Padahal, kata dia, menurut Pasal 1 angka 11 UU 12/2011, rancangan undang-undang merupakan bentuk pertanggungjawaban dari naskah akademik.
Selain itu, ia juga mempertanyakan belum adanya naskah final yang diberikan ke publik. Padahal Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011 disebutkan bahwa penyampaian RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
"Dia seolah-olah sudah disahkan, tapi dari esensi perundang-undangan itu formilnya dia tidak memenuhi ketentuan sebagai undang-undang. Cacat," kata Asfinawati saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (13/10).
Asfinawati berkata undang-undang memang akan otomatis berlaku meskipun presiden tak menandatangani naskah resmi hingga 30 hari setelah UU disahkan. Namun, UU itu akan kehilangan legitimasi sebagai produk hukum.
Seharusnya, kata dia, pemerintah dan DPR segera mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sebab pembentukannya sudah tidak merujuk pada undang-undang yang berlaku.
"Sebetulnya kalau mengikuti undang-undang, tidak bisa sah menjadi undang-undang, dia tidak punya basis legitimasi secara formil. Cuma kan siapa yang berkuasa, dia yang memegang tafsir," ujar Asfinawati.
Dihubungi terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menduga ada kesengajaan menyembunyikan naskah final Omnibus Law Cipta Kerja. Menurutnya, bisa saja naskah asli UU tersebut disembunyikan untuk meredam penolakan.
"Dengan mengecoh publik melalui peredaran berbagai versi naskah, para pihak yang berkepentingan punya kepentingan agar massa tak punya alasan untuk melakukan perlawanan atau penolakan," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/10).
Salah satu indikasinya, kata dia, adalah narasi hoaks dan disinformasi yang dilekatkan pada gerakan massa yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Bagaimana bisa orang-orang yang menyembunyikan naskah final itu justru sangat bersemangat mengoreksi pendapat pihak lain sembari menghujat pihak lain dengan tudingan hoaks atau tidak membaca UU?" ujarnya.
(dhf/fra)