Majelis Hakim menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk, Benny Tjokro atas dakwaan pidana korupsi dan pencucian uang kasus pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya.
Benny Tjokrosaputro lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada 15 Mei 1969. Pengusaha yang menamatkan studi sarjana ekonomi di Universitas Trisakti pada 1995 ini, merupakan anak dari Handoko Tjokrosaputro dan Lita Anggriani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Handoko merupakan putra dari Kasom Handoko Tjokrosapoetro, pendiri Batik Keris Solo yang melegenda sejak 1920.
Semasa kuliah di Trisakti, Benny sudah gemar membeli saham-saham yang dijual oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham pertama yang ia beli adalah saham perbankan milik Bank Ficorinvest. Saat itu ia menggunakan tabungan dan uang saku kuliah untuk membeli saham.
Aktivitasnya di dunia saham sempat mendapat kritik dari sang ayah, Handoko, yang tidak suka anaknya bergelut dengan jual-beli saham. Menurut Handoko, aktivitas Benny mirip dengan judi, ia beberapa kali ditegur sang ayah dan diminta menghentikan aktivitas melantai di bursa saham.
Handoko yang tidak suka anaknya berkecimpung di dunia saham kemudian mengupayakan berbagai hal agar Benny tidak keranjingan menggeluti itu. Sang ayah lebih menyukai Benny belajar mengelola bisnis dan melanjutkan usaha garmen miliknya.
Meski mendapat tekanan dari sang ayah, Benny tetap melanjutkan kegiatan jual-beli saham. Di kalangan investor saham di Indonesia, Benny disebut sebagai 'penggoreng' saham sehingga harganya bisa semakin tinggi di pasar saham.
Sebelum tersandung kasus Jiwasraya, Benny pernah terjerat kasus cornering atau ketahuan 'menggoreng' harga saham Bank Pikko pada 1997. Bank Pikko itu kini lebih dikenal dengan nama bank J Trust Indonesia.
Caranya, adalah dengan melakukan tindakan short selling. Ia melakukan transaksi jual tanpa memiliki saham sebenarnya, kemudian memanfaatkan momen harga saham turun untuk mendapat keuntungan. Benny juga menggunakan 13 rekening yang berbeda untuk aksi 'menggoreng' saham tersebut.
Tindakan itu ia lakukan melalui PT Multi Prakarsa Investama Securities di bawah direkturnya, yaitu Pendi Tjandra.
Akibatnya, Benny dan Pendi Tjandra, harus membayar keuntungan dari transaksi mereka berdua senilai Rp1 miliar ke kas negara.
Tidak hanya itu, perusahaan Manly Unitama Finance dan Hanson Industri Utama (sekarang Hanson International) milik Benny juga pernah terjerat kasus di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kedua perusahaan itu dinyatakan tidak menyampaikan keterbukaan informasi terkait dengan transaksi yang berjalan.
Meski telah tersandung banyak kasus di pasar modal, sosok Benny Tjokro masih melenggang mulus di lantai bursa saham. Ia masih menjabat sebagai Direktur Utama PT Hanson Internasional, dan masih mengendalikan beberapa perusahaan seperti Sinergi Megah Internusa dan Bliss Properti Indonesia.
Majalah Forbes pernah merilis Benny Tjokro sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia pada 2018. Benny memiliki kekayaan 670 juta dolar AS atau setara Rp9,8 triliun. Dengan kekayaan itu, dia menduduki posisi ke-43 sebagai orang terkaya.
Benny juga memiliki hampir 84 persen saham di perusahaan yang juga mengelola Lafayette Boutique Hotel di Yogyakarta, harga sahamnya ditaksir sekitar 225 juta dolar AS atau sekitar Rp3,3 trilun per akhir November 2019.
Saat ini, Benny mendekam di balik jeruji usai divonis penjara seumur hidup akibat korupsi dan pencucian uang asuransi PT Jiwasraya. Ia membuat negara merugi hingga Rp16,08 triliun.
Benny juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp6,07 triliun. Jika tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap, maka akan dilakukan penyitaan harta benda miliknya.
(mel/nma)