Studi yang dilakukan Universitas Indonesia (UI) terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) menemukan dosen sudah minim menciptakan interaksi yang berarti dalam mengajar di kampus. Kondisi tersebut sudah tercipta bahkan sebelum pandemi Covid-19 terjadi
"Jadi sebelum pandemi, dari FGD yang kami lakukan [ditemukan] cara pengajar menyampaikan materi sudah lama tidak adanya sentuhan," kata pengamat sosial dan dosen vokasi UI Devie Rahmawati dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X, Rabu (11/11).
Sentuhan yang dimaksud Devie adalah kemampuan berinteraksi dan memberikan pemahaman materi ajar bagi mahasiswa. Studi dilakukan terhadap 1.100 responden berusia 18 tahun sampai 24 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Devie mengatakan mahasiswa kini sudah bisa mengakses materi secara mudah di internet, mulai dari buku sampai bahan ajar universitas ternama di dunia. Pengajar berperan sebagai fasilitator, motivator, dan evaluator untuk mahasiswa dalam memahami materi yang diakses tersebut.
"Ketika orang membaca, dibutuhkan [pengajar yang membantu] mengkurasi, apa itu baca-bacaannya, apakah tepat. Nah fungsi ini sebenarnya sudah hilang bahkan sebelum PJJ," ujarnya.
Dalam studinya, Devie menemukan selama PJJ mahasiswa kerap merasa penat dengan perkuliahan. Khususnya karena pendekatan mengajar yang dinilai lebih mengekang ketimbang ketika belajar tatap muka.
Ia mengatakan mahasiswa sering tak punya waktu untuk istirahat karena jadwal kelas yang berdekatan. Belum lagi karena dosen yang menuntut pembelajaran dilakukan tertib, seolah sedang belajar tatap muka.
Menurutnya, pembelajaran yang diterapkan ini telah melenceng dari konsep PJJ yang seharusnya lebih memerdekakan mahasiswa. Terlebih jika pembelajaran daring mau dilanjutkan setelah pandemi.
Di sisi lain, kata Devie, mahasiswa banyak mengikuti pelatihan kemampuan secara daring di luar pendiidkan formal. Menurutnya, ini membuktikan bahwa sesungguhnya mahasiswa ingin mengembangkan kompetensinya, khususnya soft skill.
"Jangan-jangan memang kami yang harus banyak perbaiki diri untuk mempelajari bagaimana menampilkan sebuah materi yang harusnya student centered. Melihat kebutuhan mereka, bukan kami," ujarnya.
"Karena ada kecenderungan kami menampilkan sesuatu tanpa hirau terhadap apa kebutuhan mahasiswa. Jadi artinya kami presentasi data, mau atau enggak ya urusan Anda. Anda bayar, yaudah jadi tanggung jawab Anda untuk bisa memahami," lanjutnya.
Berkaca Finlandia
Devie pun mengakui dalam kapasitasnya sebagai pengajar, ia sering mengabaikan kebutuhan mahasiswa untuk berinteraksi selama belajar. Menurutnya, kondisi tersebut terjadi karena dosen sering mendapat urusan administrasi.
Ia menyebut studi ini sebagai catatan serius yang harus diperbaiki dari pendidikan Indonesia. Ia pun menyinggung pendidikan di negara-negara lain yang patut menjadi contoh. Salah satunya Finlandia.
Devie menjelaskan 40 tahun lalu pemerintah di sana mengupayakan perbaikan guru untuk mengembangkan pendidikan.
Guru yang dipilih, katanya, bukan di pendidikan dasar, menengah atau tinggi. Namun yang paling utama didorong adalah guru di pendidikan anak usia dini (PAUD).
"Karena saya di kampus merasa betul. Kami sudah menerima manusia-manusia yang sudah mengkristal dari PAUD sampai SMA, mereka sudah demikian. Mereka sudah dibentuk dengan tradisi yang tadi," jelasnya.
"Bukan kami mengeles. Tapi itu bukan tugas dosen di kampus untuk mengubah perilaku mahasiswanya ... Kami lelah sekali, bukan sibuk, diskusi. Tapi menghadapi soft skill mereka [mahasiswa] yang sangat rendah," lanjutnya.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ingin merubah paradigma pendidikan di pendidikan tinggi dengan memastikan pembelajaran terjadi bukan hanya di dalam kelas.
"Kampus di masa depan, dosennya sering mengambil sabatikal (cuti) di universitas lain, di industri, di tempat lain untuk mencari ilmu dan networking," katanya, Sabtu (4/7).
Pendekatan serupa juga ia harapkan pada mahasiswa melalui program Kampus Merdeka. Dimana mahasiswa diberikan kesempatan melakukan kegiatan di luar kampus hingga satu tahun, baik untuk magang, riset, berusaha, sampai melakukan proyek di desa.
Namun Nadiem tak banyak menyentuh peningkatan kualitas dosen atau pengajar di pendidikan tinggi dalam program-programnya. Teranyar dia menganggarkan hingga Rp2 triliun untuk insentif bagi kampus-kampus yang bisa berprestasi dan berinovasi.
Pengamat pendidikan dan Universitas Paramadina Totok Amin menilai insentif tersebut akan sulit didapat bagi kampus berskala kecil yang sumber daya manusianya masih minim kuantitas dan kualitas.
(fra/fey/fra)