Bantu Perkara di MA, Adik Ipar Nurhadi Disebut Pengacara Top

CNN Indonesia
Jumat, 20 Nov 2020 20:36 WIB
Adik ipar eks Sekretaris MA Nurhadi, Rahmat Santosa diminta oleh tersangka suap untuk menangani perkara PT MIT di MA.
Adik ipar Sekretaris MA Nurhadi, Rahmat Santoso disebut sebagai pengacara 'top' asal Surabaya. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Legal PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Onggang JN menjelaskan status adik ipar mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Rahmat Santoso sebagai pengacara 'top'. Rahmat menjadi kuasa hukum PT MIT dalam melawan perkara PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) pada tingkat peninjauan kembali (PK).

"Yang upaya hukum PK [Peninjauan Kembali] ini yang menangani Pak Rahmat Santoso," kata Onggang saat bersaksi dalam sidang Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (20/11).

PT MIT diketahui dipimpin Hiendra Soenjoto, tersangka suap Nurhadi dan Rezky. Perusahaan itu bersengketa dengan PT KBN terkait gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jaksa penuntut umum KPK lantas mengonfirmasi perihal Rahmat yang disebut sebagai pengacara 'top' kepada Onggan. Namun, Onggan tak menjawab spesifik. Ia mengaku hanya dikenalkan oleh Legal Manager PT MIT FX Wisnu Pancara.

"Apa ada penyampaian dari Pak Hiendra yang lebih spesifik, soal pengacara top?" timpal jaksa kemudian.

"Ya, jadi Pak Hiendra ini kan dekat dengan saya, beliau ini [Rahmat] yang dia sukai yang dibilang profesional atau dianggap punya kualitas sehingga disampaikan top kalau emang dirasa punya kualitas," kata Onggang.

Dalam sidang sebelumnya, Rahmat mengaku pernah ditawari imbalan senilai Rp10 miliar Hiendra Soenjoto dalam pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT KBN terkait gugatan perjanjian sewa-menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.

Merasa Dikriminalisasi

Sementara itu, saksi lainnya, Direktur Keuangan PT MIT Azhar Umar mengaku telah dikriminalisasi oleh Hiendra Soenjoto terkait kepemilikan perusahaan tersebut. Azhar menyebut peristiwa tersebut bermula ketika keluarga Umar bersama Hiendra membentuk PT MIT.

Dalam perusahaan itu, ayah Azhar duduk sebagai komisaris, Hiendra sebagai direktur utama dan Azhar sebagai direktur keuangan.

"Kami dikriminalisasi, Pak," kata Azhar.

Azhar mengaku seluruh pemodalan terkait pengembangan perusahaan berasal dari keluarganya. Ia menyebut sang ayah bahkan menjaminkan aset keluarganya ke perusahaan.

Singkat cerita, kata Azhar, bisnis berkembang hingga pada tahun 2007 mereka membuat holding yang disebut Multigroup Logistic Company (MLC). Azhar menyatakan keluarganya sebagai pemilik saham mayoritas.

Menurut Azhar, ketika ayahnya meninggal dunia, posisi komisaris digantikan kakaknya Azwar Umar.

Namun, kata Azhar, Hiendra selaku direktur utama tak bekerja dengan penuh tanggung jawab karena banyak proyek yang mangkrak. Karena itu, Hiendra diberhentikan sementara sebagai direktur utama.

Azhar mengatakan setelah Hiendra diberhentikan, dirinya mendapat telepon dari pihak bank yang menyampaikan bahwa Hiendra meminta perubahan tanda tangan kepada bank tersebut.

"Saya sampaikan ke pihak Bank untuk tidak diakomodir karena yang bersangkutan diberhentikan sementara oleh komisaris selaku Dirut PT MIT. Pihak bank meminta surat tersebut, saya meminta pihak legal untuk mengirimkan baik secara email maupun surat," ujarnya.

Gugatan lantas muncul terkait dengan keputusan yang menyatakan Hiendra diberhentikan sementara sebagai dirut PT MIT dan keputusan perubahan komisaris PT MIT. Dalam surat dakwaan, Hiendra meminta bantuan Nurhadi melalui Rezky agar dimenangkan dalam gugatan tersebut.

"Perdata ini sanksinya apa putusannya terhadap saksi?" ujar jaksa Takdir Suhan.

"Ya, kalau menurut saya keberadaan saham saya hilang. Saya katakan seperti itu. Khususnya di akta 116 di 25 Juni 2014," kata Azhar.

Azhar menyatakan dirinya juga menghadapi kasus pidana atas laporan Hiendra ke kepolisian. Ia menyebut hal itu sebagai bentuk kriminalisasi.

"Berkaitan dengan di tanggal 18 Juni 2014 yang ada permintaan informasi dari bank terkait masalah surat pemberhentian itu yang akhirnya saya minta pihak legal perusahaan untuk mengirim email ke pihak bank. Itu dijadikan Hiendra sebagai pengaduan ke kepolisian. Pengaduan UU ITE. Saya diadukan ke Kepolisian dan itu bergulir cukup sangat lama," ujarnya.

Dalam perkara ini, Nurhadi bersama menantunya Rezky didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.

Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45,7 miliar dari Hiendra, yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Uang miliaran rupiah itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT KBN. 

Sementara terkait gratifikasi, Nurhadi dan Rezky didakwa menerima sebesar Rp37,2 miliar terkait pengurusan perkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali sejak 2014-2017.

(ryn/fra)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER