Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Mabes Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, mengakui pernah bertemu dengan terdakwa Tommy Sumardi pada April 2020. Pertemuan itu bermaksud mengecek status Red Notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra.
Dalam pertemuan di Gedung TNCC Lantai 11 Mabes Polri, Napoleon mengatakan Tommy menyebut nama Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo dan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin.
Demikian terungkap dalam sidang lanjutan perkara penghapusan Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama Djoko Tjandra dengan terdakwa Tommy Sumardi, Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/11). Napoleon mengungkapkan hal itu dalam kapasitasnya sebagai saksi atas terdakwa Tommy Sumardi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat itu awal April 2020, Brigjen Pol Prasetijo Utomo datang ke kantor saya di TNCC lantai 11 bersama dengan terdakwa [Tommy Sumardi]," kata Napoleon.
Napoleon berujar, saat pertemuan, Tommy langsung mengatakan, "Silakan bintang satu keluar dari ruangan, ini urusan bintang tiga."
Hal tersebut membuat Prasetijo keluar dan menuju ruangan sekretaris pribadi Napoleon.
Kemudian, lanjut Napoleon, Tommy menjelaskan maksud kedatangannya adalah untuk mengecek status Red Notice Djoko Tjandra. Napoleon mengaku tidak mudah percaya begitu saja. Apalagi, menurutnya, urusan tersebut bukan merupakan hal sepele.
"Lalu saya bertanya kepada terdakwa, saudara ini apanya Djoko Tjandra. Lawyernya? Bukan. Keluarga? Bukan. Saudara apanya Djoko? saya temannya, jawab terdakwa. Saya masih belum yakin," tutur Napoleon di hadapan majelis hakim.
"Lalu dia bercerita, terdakwa yang mengatakan, ini bukan bahasa saya, tapi bahasa terdakwa pada saya menceritakan kedekatan beliau, bahwa ke tempat saya ini sudah atas restu dari Kabareskrim Polri," sambung dia.
Namun ketika Tommy ingin membuktikan pengakuan dengan akan menghubungi Listyo, Napoleon saat itu mengatakan tidak perlu.
"Apa perlu telepon beliau?," kata Napoleon menirukan Tommy.
"Saya bilang tidak usah. Kabareskrim itu junior saya, tidak perlu. Tapi saya yakin bahwa kalau seorang Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari Bareskrim dibawa ke ruangan saya, ini pasti ada benarnya," lanjut dia.
Belum ada keterangan dari Kabareskrim Komjen Listyo Sigit dan Mabes Polri tentang kesaksian Napoleon. CNNIndonesia.com telah menghubungi Listyo Sigit namun belum mendapat respons.
Kendati begitu Napoleon mengklaim tidak mudah percaya dengan pengakuan Tommy. Atas dasar itu, terang dia, Tommy masih mengupayakan usahanya dengan menelepon Azis Syamsuddin.
"Saya bilang, siapa yang Anda telepon mau disambungkan pada saya? Terdakwa mengatakan: Bang Azis. Azis siapa? Azis Syamsuddin. Oh, Wakil Ketua DPR? Ya. Karena dulu waktu masih Pamen [ perwira menengah polisi] saya pernah mengenal beliau, jadi saya sambung," ucap Napoleon.
Dalam pertemuan tersebut, Napoleon bilang bahwa Tommy juga menceritakan kedekatan dengan Kabareskrim Listyo Sigit. Kata dia, Tommy turut menceritakan bahwa pernah menjadi koordinator pelaksana enam dapur umum yang dikelola oleh Kabareskrim Polri.
"Sehingga saya menjadi lebih mafhum, tapi pada saat itu saya mengatakan begini: 'Kalau Bapak ingin mengecek status Red Notice Djoko Tjandra, saya tidak punya alasan kuat karena ini lisan'," beber dia melanjutkan kesaksian.
Ia pun menerangkan, menurut Interpol's Rules on the Processing of Data, pengecekan hanya bisa dilakukan berdasarkan hak asasi dari subjek Red Notice, pengacaranya ataupun keluarganya.
"Jadi, permintaan lisan ini tidak bisa saya layani walaupun saudara terdakwa menelepon pejabat negara. Saya butuh surat dari lawyer Djoko Tjandra atau keluarganya," tandas Napoleon.
Jaksa Penuntut Umum sebelumnya mendakwa Napoleon dan Prasetijo menerima suap dari Djoko Tjandra. Napoleon disebut menerima uang sejumlah Sin$200 ribu dan US$270 ribu, sementara Prasetijo menerima uang US$150 ribu.
![]() |
Suap tersebut dimaksudkan membantu menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar DPO yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan hal itu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan.
Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan kurungan atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
(ryn/nma)