ANALISIS

Wabah Covid-19 Indonesia yang Tak Kunjung Memuncak

CNN Indonesia
Kamis, 26 Nov 2020 09:06 WIB
Sudah hampir sembilan bulan pandemi Covid-19 di Indonesia terjadi, dan grafik penularan masih terus mengalami peningkatan, bahkan belum melewati masa puncak.
Petugas medis membawa pasien ke ruang isolasi saat simulasi penanganan pasien virus corona di RS Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, Jumat (6/3/2020). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hampir sembilan bulan pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia terjadi, angka penularan pun terus mengalami peningkatan. Terkini, per Kamis (26/11), angka akumulasi positif corona di Indonesia menembus angka setengah juta orang.

Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tercatat hingga Rabu (25/11) siang jumlah kasus positif Indonesia mencapai 506.302 kasus, di mana 425.313 di antaranya sembuh (84 persen) dan 16.111 meninggal dunia (3,2 persen). Dari catatan akumulasi itu--dikurangi angka sembuh dan meninggal--maka kasus aktif Covid-19 di Indonesia adalah 64.878 (12,8 persen).

Dalam sejumlah pernyataan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menyatakan angka kasus di Indonesia masih di bawah rata-rata dunia. Ia lalu membandingkannya dengan angka kasus aktif per Minggu (22/11) yakni 12,78 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini lebih rendah dari rata-rata kasus aktif dunia yaitu 28,41 persen. Ini sudah baik," kata Jokowi di Youtube Sekretariat Presiden, Senin (23/11).

Sementara tingkat kesembuhan, Jokowi pun menyebut lebih baik dari tingkat kesembuhan dunia yang mencapai 69,20 persen.

Kendati mengklaim angka terus membaik, namun kurva kasus positif covid-19 di Indonesia masih terus menaik. Menanggapi hal tersebut pun, Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menilai sebetulnya Indonesia belum memasuki tahap puncak kasus Covid-19.

"Ini masih akan menanjak. Jadi jangan terkecoh bahwa banyak orang itu terpaku angka kasus harian yang dilaporkan dan ditemukan. Itu kan angka keseharian yang ditemukan dan dilaporkan secara resmi oleh pemerintah," kata Dicky kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/11).

Dicky mengakui perkembangan kasus di Indonesia masih sangat kompleks mengingat demografi Indonesia. Oleh karena itu, ia menilai hilal dari puncak Covid-19 di Indonesia diprediksi masih sangat jauh.

Dia menerangkan ciri dari suatu negara telah melewati puncak kasus ialah penurunan kasus secara berturut turut.

"Salah satunya WHO menyampaikan adanya tren penurunan secara konsisten dalam dua atau tiga minggu dari kasus harian dengan asumsi kapasitas testing yang memadai. Kedua, trennya harus menurun, bukan naik turun seperti Jakarta," ujar dia.

Adapun indikator sebuah negara telah melewati masa puncak ialah dalam waktu dua pekan ditandai dengan penurunan kasus dan dibarengi dengan tes positivity rate minimal 5 persen. Keduanya, tegas dia, harus terjadi secara bersamaan.

"Lima persen artinya cakupan testing memadai dalam meng-cover menemukan orang yang terinfeksi setidaknya ketika test positivity 5 persen setelah itu kita bisa melihat kita mencapai puncak atau seperti apa," katanya.

Dari perkembangan global, Dicky mengatakan negara-negara lain memakan waktu setidaknya sekitar tiga bulan untuk mencapai puncak Covid-19. Hal ini berbeda dengan Indonesia lantaran dari kapasitas tes risiko penularan dan dari segi kebijakan.

"Strategi pengendalian kita ini belum tepat. Bahwa Indonesia memang kompleks, tapi kan ilmu wabah itu di mana saja sama, fenomenanya sama. Dan diharapkan kurva dari luar negeri bisa terjadi di Indonesia," ujar Dicky.

"China sejak awal melandaikan kurva dengan lockdown total dibarengi dengan testing-tracing yang masif banget. Sehingga dalam waktu kurang dua minggu sejak pelaksanaan lockdown strategi mereka sudah mencapai puncak," imbuhnya.

People wearing face masks wait in front of the Hankou Train Station in Wuhan on April 8, 2020. - Wuhan was reopened after being closed since January 23 because of the coronavirus outbreak. (Photo by HECTOR RETAMAL / AFP)Warga di Cina mengenakan masker di depan Stasiun Hankou, Wuhan, China, 8 April 2020. Hari itu, Wuhan kembali dibuka setelah ditutup (lockdown) akibat wabah virus corona sejak 23 Januari 2020. (AFP/HECTOR RETAMAL)

Sementara itu pakar dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai Indonesia masih panjang dalam menghadapi puncak kasus Covid-19. Bahkan, ia memprediksi angka positif masih akan terus bertambah cepat hingga akhir tahun.

"Bahwa akhir tahun kasus masih akan terus naik dan kita belum melewati puncak kasus. Di Desember diprediksi 600-1 juta kasus," kata Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/11).

"Itu pun belum termasuk analisis dampak risiko sosial, tenaga kerja. Kasus kita di Indonesia masih pada lembah kelam dan menanjak. Kalau orang sudah second wave, third wave, kita masih jauh," sambung dia.

Hal yang paling krusial dalam menilai kondisi Covid-19 di Indonesia saat ini adalah kapasitas pemeriksaan yang masih di bawah 50 ribu per hari. Padahal, harusnya Indonesia melaksanakan pemeriksaan sebanyak 150 ribu per hari.

Selain pemeriksaan yang masih rendah, Hermawan juga mengingatkan mengenai keputusan politik yang tak mendukung terhadap melandainya kurva Covid-19 di Indonesia. Menurutnya, pemerintah saat ini seolah lupa setiap keputusan politik sangat berpengaruh dalam perkembangan angka Covid-19.

"Keputusan politik sangat mempengaruhi. Kita merestui adanya Pilkada sangat luar biasa beresiko. 270 kabupaten kota serentak dan prosesi kampanye sejak itu lebih dari 120 juta orang keluar nanti," tuturnya.

Oleh karena itu, Hermawan berharap pemerintah harus lebih serius lagi dalam menangani covid-19, terutama terkait ketegasan.

"Ketegasan pemerintah itu kan tidak kunjung sinkron. Jadi tidak heran kita masih berada di lembah kekelaman itu," tutupnya.

Penakan Kali melintasi mural waspada virus Corona Di kawasan Cawang, Jakarta, Kamis,  1 Oktober 2020. CNNIndonesia/Safir MakkiWarga melintasi dinding yang berhiaskan mural dengan pesan waspada virus corona di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Kamis, 1 Oktober 2020. (CNNIndonesia/Safir Makki)

Perilaku Masyarakat

Terpisah, Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Hery Trianto menyebut kendala besar yang dihadapi pemerintah dalam mengatasi dan menangani pandemi Covid-19 adalah perilaku masyarakat Indonesia secara umum.

Menurut Hery, selain harus berhadapan dengan masyarakat yang mengaku kebal Covid-19, pihaknya juga harus berhadapan dengan masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan mencegah risiko penularan Covid-19.

"Kita juga masih berhadapan dengan masyarakat yang yakin kebal Covid-19, ditambah masyarakat yang tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan padahal pengetahuannya soal tertular Covid-19 cukup tinggi," kata Hery dalam diskusi 'Sosialiasi Adaptasi Kebiasaan Baru' di Youtube BNPB, Rabu (25/11).

Atas dasar itu, pihaknya tidak heran ketika melihat grafik yang menunjukkan kasus positif Covid-19 terus mengalami penambahan hingga sejak pasien pertama di Indonesia diungkap pada awal Maret lalu.

"Ini [kasus mencapai lebih dari 500 ribu] memang jadi tantangan besar bagi kita semua, ada kendala-kendala yang harus kita hadapi," tuturnya.

Di samping itu, Hery mengatakan pemerintah dan perangkatnya tidak memiliki kemewahan berupa waktu untuk melakukan kampanye adaptasi kebiasaan baru (AKB). Sebabnya, Covid-19 merupakan penyakit menular yang tidak mengenal waktu.

Untuk diketahui, tren kasus Covid-19 di Indonesia masih cenderung fluktuatif bahkan diprediksi akan mengalami lonjakan kasus pada Desember mendatang. Hal itu dikarenakan beberapa hal, seperti penyelenggaraan Pilkada Serentak, libur natal, dan libur tahun baru.

Selain itu, angka testing Covid-19 di Indonesia juga masih rendah. Berdasarkan data Satgas Covid-19 per 22 November, testing mingguan Indonesia mencapai 239.392 orang. Namun angka itu juga masih lebih rendah dari target WHO sebesar 267 ribu orang per minggu.

(ctr, mln/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER