Sejumlah ahli epidemiologi mengingatkan pemerintah akan pelbagai risiko yang membayangi saat Pilkada Serentak 2020 tetap digelar kendati di tengah pandemi virus corona.
Ragam masalah itu mulai dari potensi lonjakan kasus, kesiapan fasilitas kesehatan hingga, kekosongan peraturan daerah terkait penanggulangan Covid-19.
Pemerintah, DPR dan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya menyepakati hari pemungutan suara jatuh pada 9 Desember 2020. Pilkada tahun ini akan menyerentakkan 270 pemilihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebanyak 100.359.152 pemilih di 309 kabupaten/kota bakal terlibat dalam pemilihan ini.
Potensi kerumunan saat pencoblosan dua pekan mendatang menurut epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Laura Navila Yamnani harus jadi catatan khusus pemerintah. Apalagi mengingat setelah itu juga ada waktu libur panjang.
Menurutnya, kasus positif Covid-19 berpotensi melonjak dan bakal membahayakan jika pemerintah abai.
"Ini kan yang membahayakan pada bulan Desember akan ada dua event besar, Pilkada dan libur panjang yang mungkin lebih panjang dari sebelumnya karena kumulatif mengganti yang Idul Fitri," kata Laura kepada CNNIndonesia.com, Rabu (25/11).
![]() |
Laura berujar, pemerintah harus membuat rencana berlapis berikut skenario untuk memastikan agar penanganan pasien Covid-19 tidak membuat kewalahan tenaga kesehatan. Salah satu rencana, bisa dengan memetakan kesiapsiagaan seluruh fasilitas layanan kesehatan.
"Apalagi situasi sekarang ternyata di beberapa rumah sakit penuh, sampai mengantre di IGD. Kemudian ruang isolasi penuh. Ini harus dipastikan dan dipetakan. Kalau kondisi seperti itu maka dua event ini sangat menakutkan," ungkap dia.
Skenario yang dibuat, lanjut dia, juga harus disosialisasikan kepada masyarakat secara masif.
"Iya betul [rencana berlapis]. Jadi, masyarakat ini juga harus diberikan pengertian," tambah dia lagi.
Sementara itu, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menegaskan aturan main 3M berupa memakai masker, menjaga jarak dan, mencuci tangan merupakan suatu keharusan demi mencegah penularan Covid-19.
Kampanye sekaligus penegakan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan menurut dia jadi tantangan tersendiri.
"Kalau masyarakat Indonesia memang begini. Seharusnya penyuluhannya dilakukan secara besar-besaran, harusnya penegakan hukumnya dilakukan di semua daerah enggak cuma Jakarta doang," ucap dia.
Kendati begitu, ia menekankan wilayah yang tidak menyelenggarakan Pilkada bukan berarti bisa lebih kendur. Pengawasan serupa tetap wajib diberlakukan.
Selain itu, ia menganggap terdapat kekosongan Peraturan Daerah (Perda) mengenai penanggulangan Covid-19 di sejumlah wilayah yang menggelar Pilkada. Perda yang dimaksud ini berisi ketentuan, tanggung jawab, wewenang, hingga sanksi selama penanganan Covid-19.
"Di daerah Pilkada enggak ada Perda, kerumunan boleh. Enggak ada larangan berkerumun di daerah pemilu," imbuh dia.
Grafik kasus positif Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Bahkan, beberapa hari terakhir kasus positif selalu mencapai angka 4.000-an per harinya.
Pada Rabu (25/11), data memperlihatkan penambahan 5.534 kasus positif, sehingga akumulasi mencapai 511.836 kasus infeksi virus corona. Penambahan ini memecah rekor harian terbanyak 5.444 kasus pada 13 November 2020 lalu.
Lima provinsi menempati daftar teratas peningkatan pasien positif harian antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan, Sulawesi Selatan. Empat daerah di antaranya kecuali DKI Jakarta diketahui ikut menggelar Pilkada.
Di samping itu, sejauh ini sudah lebih dari 100 petugas KPU dan Bawaslu yang terinfeksi virus corona selama tahapan Pilkada Serentak 2020.
Jumlah terbesar terdapat di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Pada Agustus lalu, 96 orang petugas pengawas pemilu di Kabupaten Boyolali dinyatakan positif Covid-19.
Kasus Covid-19 di kalangan penyelenggara pilkada juga terjadi di Agam dan Bukittinggi, Sumatera Barat serta Depok, Jawa Barat.
![]() |