Pemungutan suara Pilkada 2020 yang melibatkan 100 juta orang di 270 daerah akan digelar 19 hari lagi atau pada 9 Desember mendatang. Pilkada tetap digelar meski pandemi virus corona (Covid-19) kian memburuk.
Gelaran pilkada di masa pandemi bukan tanpa penolakan. Desakan penundaan awalnya datang dari kelompok masyarakat sipil pemerhati pemilu.
Tuntutan penundaan juga datang dari sejumlah ormas Islam. PBNU, PP Muhammadiyah, dan MUI meminta pilkada ditunda hingga kondisi pandemi bisa dikendalikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, pemerintah, DPR, dan KPU bersikukuh pilkada lanjut terus. Mereka beralasan bakal ada kekosongan kepemimpinan jika pilkada tak segera digelar. Selain itu, mereka telah mengucurkan anggaran triliunan rupiah untuk persiapan pilkada.
Berikut rangkuman sederet potensi bahaya pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang telah disuarakan berbagai elemen masyarakat.
Epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra khawatir perhelatan pilkada di saat pandemi akan menciptakan klaster baru penularan Covid-19.
Ia khawatir kegiatan pilkada yang selalu mengundang kerumunan jadi sarana penularan virus. Terlebih lagi, menurutnya, tak ada upaya serius dari pemerintah untuk memastikan pilkada berjalan dengan diiringi protokol kesehatan secara ketat. Karenanya, dia cemas pemungutan suara nanti jadi klaster baru penularan virus corona.
"Kita berharap Pemerintah tidak menganggap sepele pilkada. Adapun kasus Covid-19 sudah hampir 200 ribu, jadi bayangkan nanti kita bisa tembus 500 ribu bahkan melonjak sejuta kasus," ujar Hermawan.
![]() |
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengusulkan penundaan pilkada karena kondisi pandemi belum terkendali. Ia merujuk pada pendapat para ahli bahwa puncak pandemi di Indonesia akan terjadi pada Desember 2020 atau bertepatan dengan musim hujan.
Pria yang juga menjabat Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) itu menyarankan pemungutan suara pilkada ditunda hingga ada vaksin. Dengan demikian, penularan bisa dicegah semaksimal mungkin.
"Kalau kita buka vaksin barulah covid ini menurun. Dan banyak, perkiraan vaksin itu sudah mulai akan divaksinasi mulai Februari-Maret. Jadi kalau sudah berlangsung itu covid menurun," kata JK saat berbincang dengan CNNIndonesia TV, Senin (21/9).
Pilkada di tengah pandemi tak hanya berbahaya bagi kesehatan. Peneliti LIPI Wasisto Raharjo menyebut ada dampak besar bagi demokrasi jika meneruskan pilkada saat pandemi.
Ia memprediksi angka golput atau orang yang tidak memilih dalam Pilkada Serentak 2020 akan meningkat. Ia memprediksi hal itu dengan melihat kecenderungan di sejumlah negara.
![]() |
Menurutnya, ada sekitar 28 negara yang menggelar pemilu saat pandemi hingga September 2020. Sebagian besar di antaranya dinilai gagal karena angka partisipasi pemilihnya berkurang.
"Kroasia -10 persen, Singapura -5 persen Iran -15 persen. Kalau membaca angka global tersebur, potensi golput (di Pilkada Serentak 2020) dimungkinkan," ujarnya dalam siaran CNN Indonesia Tv, Sabtu (26/9).
Wasisto mengutip sejumlah jurnal ilmiah untuk menemukan solusi menekan golput saat pandemi. Menurutnya, beberapa cara menekan golput saat pandemi adalah pemilu lewat pos, pemilu online, dan pemilihan lebih awal (early voting). Namun tak ada satupun dari solusi itu yang diterapkan Indonesia.
Direktur Eksekutif, Indonesian Democratic (IDE) Center, C. David Kaligis memprediksi pilkada di tengah pandemi akan sarat kecurangan. Sebab gerak masyarakat untuk memantau setiap tahapan akan terbatas.
Menurutnya, kecurangan yang berpotensi dilakukan adalah politik uang, pengerahan aparatur negara, penggunaan fasilitas negara, serta penggelembungan suara dalam proses rekapitulasi suara.
"Lengahnya perhatian masyarakat karena Covid-19 dapat menjadi peluang oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menghalalkan segala cara," ucap David dalam keterangan tertulis, Selasa (27/10).
![]() |
Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi juga mengandung bahaya bagi para penyelenggara. Pada September lalu, 96 petugas Bawaslu Boyolali positif corona. Tugas mereka pun sempat terhambat beberapa saat.
Sebanyak 22 pegawai KPU Bali juga positf Covid-19 selama pandemi. Di KPU RI, tiga dari tujuh orang komisioner sempat positif Covid-19. Mereka tertular dalam acara-acara terkait pilkada.
Tak hanya soal penularan, ancaman bagi penyelenggara juga soal keselamatan. Badan Pengawas Pemilu menyebut puluhan petugasnya mengalami kekerasan saat membubarkan kerumunan kampanye yang tak sesuai protokol kesehatan.
"Bawaslu mencatat, setidaknya 31 orang pengawas pemilu di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada mendapat kekerasan saat menjalankan tugas," ujar Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin dalam keterangan resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (18/11).