Jakarta, CNN Indonesia --
Miftachul Akhyar resmi menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025. Ia menggantikan Ma'ruf Amin lewat Musyawarah Nasional X MUI yang digelar di Jakarta pada 25 hingga 27 November 2020.
Keputusan itu diambil melalui rapat Tim Formatur yang berisi 17 ulama dibawah komando Ma'ruf. Bukan saja perkara ketua, tim ini memutuskan struktur kepengurusan organisasi MUI lima tahun ke depan.
"Rapat Tim Formatur Tim Musyawarah Nasional MUI X tahun 2020 memutuskan struktur dan personalia organisasi MUI masa khidmat 2020-2025," kata Ketua Steering Commitee, Abdullah Jaidi dalam penutupan musyawarah di Jakarta, Jumat (27/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila menilik sekilas sejarah pendirian, MUI adalah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina, serta mengayomi kaum muslimin.
45 tahun silam tepatnya pada 7 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 organisasi ini dibentuk di Jakarta. MUI lahir sebagai buah dari musyawarah ulama, zu'awa, dan cendikiawan yang mewakil 26 provinsi kala itu.
Sebanyak 26 ulama itu terdiri atas 10 ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math'laul Anwar, Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI), Perguruan Tinggi Da'wah Islam (PTDI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), serta Al Ittihadiyyah; kemudian empat ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Polri; serta 13 tokoh atau cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dikutip dari laman MUI, momentum berdirinya organisasi ini bertepatan dengan fase kebangkitan kembali bangsa Indonesia, setelah 30 tahun merdeka. Masa-masa itu, energi bangsa telah banyak diserap untuk perjuangan politik kelompok dan abai terhadap kesejahteraan rohani umat.
Dalam perjalanannya, MUI sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim berusaha mewujudkan empat hal. Petama memberikan bimbingan dan tuntutan ke umat Islam di Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama serta bermasyarakat.
Selanjutnya, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan ke Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antarumat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta.
Ketiga, menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional.
Terakhir, meningkatkan hubungan serta kerja sama antar-organisasi, lembaga Islam, dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Di luar tujuan utama pendirian MUI, sepanjang lima tahun terakhir peran organisasi ini di panggung politik nasional cukup kentara. Posisi ini mulai terlihat saat MUI mengeluarkan fatwa terkait pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat itu masih menjabat kepala daerah.
Ahok pada 2016 silam dalam sebuah ucapannya, menyinggung surat Al Maidah ayat 51. Kala itu, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta dianggap melakukan penodaan Alquran dan ulama.
Sejumlah kalangan pun sempat menilai langkah tersebut politis karena dikeluarkan MUI di tengah kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017. Sebanyak tiga pasangan bertarung pada helatan politik itu antara lain pasangan Ahok dan Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti dan Sylviana Murni serta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Sejak itu, sebagian pengurus MUI pun diketahui ikut dalam gerakan Persaudaraan Alumni (PA) 212. Beberapa di antaranya seperti Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Bachtiar Nasir dan Bendahara MUI Yusuf Muhammad Martak.
Berlanjut pada Pilpres 2019, MUI kembali muncul di panggung politik. Ma'ruf Amin yang kala itu masih menjabat Ketua MUI dipilih untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden petahana Joko Widodo.
Ma'ruf bersama Jokowi pun akhirnya memenangkan kontestasi Pilpres 2019 dan menjabat sebagai Wakil Presiden RI saat ini.
Ma'ruf sendiri pernah meminta MUI agar tidak ikut terlibat dalam politik praktis usai Pemilu 2019. Kala itu ia juga meminta MUI untuk tidak masuk dalam wilayah yang dipersengketakan.
"Ya, kami mengendalikan supaya MUI tidak ikut mengambil politik peran soal teknis pemilu," kata Ma'ruf Amin di Jakarta Pusat, 7 Mei 2019.
Ma'ruf berkata, MUI sudah membuat keputusan bahwa segala sesuatunya harus dijalankan sesuai peraturan dan prosedur. Menurut dia, MUI telah memberikan keputusan bahwa semua pihak harus menunggu hasil resmi KPU terkait Pemilu 2019.
"Masalah kecurangan dan sengketa lainnya disarankan menempuh jalur resmi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Bawaslu," tutur Ma'ruf.
 Ilustrasi. Salah satu kegiatan yang digelar Majelis Ulama Indonesia mengundang sekitar 80-an dai di Kantor Pusat MUI, Jakarta Pusat, Kamis (5/3). (Foto: CNN Indonesia/Damar Iradat) |
MUI sebagai Rumah Bersama
Menengok kembali rekam jejak lahirnya MUI, pengamat politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengungkapkan bahwa organisasi ini sebetulnya dibentuk pada era Orde Baru untuk menghadapi kekuatan yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Khususnya dari kalangan kelompok Islam.
Karena itu menurut Khoirul, Presiden ke-empat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sempat menolak keras keberadaan MUI pada awal pemerintahannya.
"Sejarahnya, MUI dibentuk pemerintah Soeharto ebagai instrumen untuk menghadapi kekuatan yang dianggap bersebarang dari pemeritnah, terutama di segmen Islam," kata Khoirul kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/11).
Berangkat dari itu, dia pun menyatakan, MUI mendatang harus menjadi titik temu dari seluruh ormas Islam di Indonesia. Menurut Khairul, MUI harus merepresentasikan diri sebagai 'rumah bersama' bagi siapapun.
Ia lantas menyampaikan, kepengurusan MUI yang baru harus mampu menjaga netralitas, independensi, dan integritas demi membangun sinergitas di internal, hubungan dengan umat beragama lain, serta hubungan dengan pemerintah.
Khoirul menilai peran tersebut harus dimainkan oleh MUI untuk membantu mewujudkan ruang demokrasi yang baik di Indonesia yang bebas dari politik identitas. Dia melanjutkan, MUI harus menghindarkan diri agar tak menjadi Ormas yang justru memfasilitasi kehadiran kelompok yang menikmati ekspolitasi politik identitas.
"Ruang demokrasi kita lihat eksplotiasi politik identitas semakin kuat, MUI di kepengurusan baru harus menjaga marwah kelembagaan dan jadi pengayom berkembangnya ruang demokrasi yang lebih terkonsolidasi dengan baik," Khoirul berharap.
Selain itu ia juga menginginkan MUI mengambil peran mencegah praktik politik yang tidak tepat seperti penyebaran informasi bohong hingga ujaran kebencian.
Menurut Khoirul, MUI tidak boleh tinggal diam di tengah buruknya praktik politik. Langkah konkret mesti diambil agar kondisi Indonesia tak kian runyam.
"MUI ke depan memang tidak boleh berada di ruang politik, tapi keberadaannya sebagai rumah bersama, dia wajib menjalankan komitmen besar itu sebagai penjaga persatuan dan demokrasi di Indonesia," pungkas Khoirul.