Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad mengatakan lonjakan kasus Covid-19 di Jawa Tengah bisa menjadi alarm bagi pemerintah daerah sekaligus Satgas Covid-19 agar lebih memperhatikan penanganan pandemi di luar DKI Jakarta.
Diketahui berdasarkan data harian Satgas Covid-19, kasus positif di Jateng bertambah sebanyak 2.036, penambahan ini merupakan yang terbanyak selama pandemi Covid-19 menyerang daerah yang dipimpin Ganjar Pranowo tersebut.
"Ini alarm bagi Pemda dan pemerintah pusat untuk menangani pandemi lebih serius," kata Riris saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (30/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Riris, penambahan kasus di Jateng bisa saja terjadi hanya di beberapa daerah atau kabupaten tertentu. Namun tidak menutup kemungkinan, penambahan kasus terjadi secara merata karena faktor mobilitas masyarakat di Jateng yang mulai meningkat.
"Saya secara spesifik tidak mempunyai data dimana lonjakan kasus terjadi. Apakah di kabupaten-kabupaten tertentu atau terjadi secara merata. Tapi secara umum penularan masih banyak terjadi karena mobilitas masyarakat semakin meningkat," ungkapnya.
Ia juga menyebut pemerataan upaya 3T berupa testing-tracing-treatment belum merata di Indonesia dan masih terkonsentrasi di DKI Jakarta. Desentralisasi daerah ini, menurut Riris bisa menjadi penghambat penanganan pandemi.
Padahal respon cepat 3T harusnya segera dilakukan di daerah-daerah dan tidak hanya di ibu kota. Sehingga upaya penanganan di tiap-tiap provinsi bisa merata.
"Secara umum jelas belum [pemerataan 3T]. Desentralisasi mau tidak mau harus diakui menjadi penghambat dari respon cepat yang harusnya bisa dikoordinasikan oleh Satgas Covid-19 dan pemerintah pusat," tuturnya.
Dihubungi terpisah, Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan pemerintah pusat memberikan perhatian yang berbeda antara Ibu Kota DKI Jakarta dengan provinsi lainnya, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Padahal ketiga provinsi itu juga merupakan daerah yang rawan penularan karena arus mobilitas yang mudah memasuki daerah episentrum Covid-19, yakni Jakarta.
"Masalah kita adalah pemerataan intervensi 3T di seluruh wilayah, karena terlihat jomplang banget antara DKI Jakarta dengan daerah lain, Jateng, Jabar, Jatim, mereka ini kapasitas testingnya minim, ini yang harus disadari oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat," kata Dicky.
Menyoal lonjakan kasus Covid-19 di Jateng, Dicky mengartikan bahwa penularan di daerah tersebut sangat tinggi. Hal ini dilandasi faktor data testing di Jateng yang tertutup dan masih di bawah WHO.
Namun belum jelas berapa testing Covid-19 mingguan di Jateng. Halaman resmi Covid-19 Jateng tidak memberikan data hasil testing harian.
"Saya perkirakan positivity rate hariannya di Jateng itu lebih dari 10 persen, menunjukkan kasus yang terjadi di Jateng ini jauh lebih banyak [yang belum terdeteksi], angka kematian juga tinggi, artinya apa? mereka [Pemda] telah tracing, telat mengetahui kasus positif sehingga banyak yang bergejala berat," jelas Dicky.
Menurut data Satgas Covid-19 Minggu (29/11), akumulasi kasus kematian di Jateng sebanyak 2.340 kasus, sementara kasus sembuh berjumlah 38.281.
Menggunakan data yang sama, akumulasi kasus positif di Jateng sebanyak 54.997 kasus, jumlah kasus aktif di Jateng sebanyak 14.376 kasus. Merupakan jumlah kasus aktif terbanyak se provinsi.
(mln/gil)