Organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia menyebut korporasi di bidang perkebunan sawit mulai merambah lahan ke hutan-hutan di Papua seiring menipisnya lahan yang tersedia di Kalimantan dan Sumatera.
Menurut catatan Greenpeace Indonesia, Kalimantan telah kehilangan 1.778.125 hektare hutan sementara di Sumatera kehilangan 712.001 hektare hutan dalam konsesi perkebunan sawit sepanjang 2001-2019.
"Lahan di Sumatera, Kalimantan itu sudah habis. Sehingga mereka [korporasi sawit] mulai mengalihkan ekspansi mereka ke Papua. Kebetulan Papua hutannya masih bagus," ungkap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (2/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arie mengakui masih sulit mendapatkan angka persis soal luas hutan yang hilang, sebab data perizinan hingga kini masih tidak dipublikasikan pemerintah. "Sejauh ini luasan konsesi perkebunan di Indonesia seluas 22.192.649 hektare."
Sementara data Greenpeace menunjukkan peningkatan izin lahan sawit di Papua mulai meningkat sejak 2005. Pada 2019 tercatat ada 2.951.883 hektare lahan hutan yang dijadikan izin perkebunan.
Dalam kawasan tersebut, terdapat 1.867.969 hektare lahan yang masih terdapat tutupan hutan. Sehingga muncul dugaan, pembukaan lahan pada beberapa kasus dilakukan dengan cara pembakaran yang disengaja.
![]() |
Arie menduga selain karena menipisnya lahan di sebagian daerah Indonesia, Papua dijadikan target ekspansi sawit lantaran keterbatasan informasi warga di sana.
Ia menjelaskan, sesungguhnya banyak lahan di Papua yang dimiliki masyarakat adat. Akan tetapi mereka belum mendapatkan kepastian akses untuk mengelola hutan tersebut, sehingga kedudukannya lemah secara hukum.
Situasi ini yang menurut Arie membuat izin usaha perkebunan dan Gak Guna Usaha (HGU) lebih mudah diberikan pemerintah kepada korporasi sawit. Meskipun, kondisi sosial di sana pun berpotensi memunculkan konflik dengan masyarakat setempat.
"Komoditas sawit juga hanya bisa tumbuh di hutan hujan, hutan tropis. Dan di Indonesia, itu [Papua] jadi salah satu pilihan yang paling tepat. Di tengah kebijakan Indonesia juga yang welcome terhadap bisnis industri sawit ini," ungkap dia lagi.
Namun begitu anggapan Greenpeace dibantah Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono. Menurut dia, ekspansi lahan sawit ke Papua bukan lantaran keterbatasan informasi warga setempat ataupun menipisnya lahan di Kalimantan dan Sumatera.
"Kebanyakan yang di Papua adalah izin-izin lama yang belum ditanam. Oleh karena itu, saat ini juga dievaluasi berdasar Inpres Nomor 8/2020 tentang moratorium," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (2/12).
Joko menambahkan, kalaupun ada pengembangan ke wilayah Papua, hal tersebut lantaran kebutuhan pertumbuhan ekonomi di Papua memerlukan investasi. "Bukan karena alasan Sumatera dan Kalimantan," tutur dia lagi.
Ia pun mengklaim, ekspansi lahan sawit pun bakal dilakukan sesuai peraturan. Menurut Joko kecil kemungkinan perusahaan membakar hutan secara disengaja hanya untuk membuka lahan.
"Sangat kecil kemungkinan perkebunan sawit membuka lahan dengan membakar, karena akan berhadapan dengan hukum yang sangat berat," pungkas Joko Supriyono.
Sementara menyoal dampak perluasan lahan sawit terhadap lingkungan, Arie mengatakan, pembukaan lahan mendatangkan efek buruk laju deforestasi. Karena pembukaan lahan acap dilakukan di area hutan dengan skala besar.
Organisasi konservasi independen World Wildlife Fund for Nature (WWF) menemukan kondisi lingkungan di Pulau Sumatera dan Kalimantan telah berisiko tinggi akibat ekspansi perkebunan sawit.
Hal ini dipaparkan dalam studi WWF bersama organisasi non-profit Proforest berjudul "Kelapa Sawit Berkelanjutan: Perdagangan dan Pelaku Usaha Kunci antara Indonesia dan Tiongkok".
Sustainable Palm Oil Manager WWF Indonesia, Joko Sarjito menerangkan bahwa risiko tinggi yang disebut dalam studi mengacu pada habitat alam hutan maupun masyarakat setempat yang hidup bergantung pada hutan.
"Dengan adanya pembangunan perkebunan dengan tidak mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan, dapat memberikan dampak negatif jangka panjang, baik bagi kelestarian lingkungan dan perlindungan keberadaan masyarakat adat dan lokal," tutur Joko Sarjito kepada CNNIndonesia.com.
Padahal, sambung dia, hutan di Sumatera dan Kalimantan merupakan ekosistem bagi banyak satwa langka dan endemik yang justru bakal terancam keberadaannya.
Hutan di lokasi tersebut juga didominasi lahan gambut dengan cadangan karbon yang tinggi. Pembukaan hutan untuk perkebunan tanpa kajian mendalam salah-salah dapat melepaskan banyak karbon dan berdampak pada pemanasan global.
Bengkulu dan Sumatera Barat merupakan kawasan yang memiliki risiko tinggi lingkungan dan ancaman kerapatan spesies di Sumatera. Sementara risiko sosial paling tinggi ditemukan di Riau dan Jambi.
Adapun Kalimantan, risiko terhadap ancaman lingkungan dan spesies terkonsentrasi di kawasan Jantung Kalimantan yang ditengarai sedang mengalami pertambahan.
Beberapa waktu lalu, investigasi Greenpeace International dan Forensic Architecture menemukan pembukaan lahan di area perkebunan sawit milik anak perusahaan Korea Selatan, Korindo Group di Papua dilakukan dengan pembakaran secara sengaja.
Perusahaan tersebut diduga telah menghancurkan sekitar 57.000 hektar hutan di provinsi tersebut sejak 2001. Lahan tersebut hampir seluas ibu kota Korea Selatan, Seoul.
Merespons hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim sudah memberikan sanksi kepada Korindo karena melanggar aturan. Begitu pula dengan perusahaan lainnya yang mengantongi izin pengelolaan lahan dari pemerintah.
(fey/nma)