Ekonom senior Emil Salim meminta Presiden Joko Widodo mencabut Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengizinkan pembangunan food estate atau lumbung pangan di kawasan hutan lindung.
Kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan food estate.
"Mohon Bapak Presiden @jokowi cabut (1) Permen LHK tentang bangun lumbung pangan di hutan lindung yang terdegradasi, sehingga tak lagi berfungsi lindung," tulisnya dalam cuitan di akun Twitter, dikutip Selasa (1/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Presiden kedua RI Soeharto ini meminta agar Menteri LHK kembali kepada tugas pokoknya untuk memulihkan fungsi hutan lindung.
"Agar MenLHK kembali ke tupoksi-nya pulihkan fungsi lindung hutan yang rusak agar air dan lingkungan alami pulih," kata dia.
Senada, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menilai proyek ini hanya akan memperkuat dominasi korporasi pada kawasan hutan.
"Lahirnya Permen ini semakin menegaskan muka jahat program food estate. Pada prinsipnya, food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani," ungkapnya dalam keterangan tertulis.
Menurut dia, pembangunan food estate di hutan lindung dapat memicu laju deforestasi dan merusak lingkungan. Pasalnya, food estate merupakan proyek dengan skala luas. Sementara, proyek lumbung pangan sejenis di masa lalu juga tak menghasilkan keuntungan negara.
"Dari proyek PLG (proyek tanam padi di satu juta hektare lahan gambut pada orde baru) untuk yang setidaknya menyedot APBN hingga 1,6 Triliun tersebut gagal total untuk menjadikan lumbung pangan," kata dia.
"Bahkan justru sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan," lanjut Nur.
Ia pun mengkritik upaya pemerintah mendorong food estate, yang merupakan salah satu dari 201 proyek strategis nasional (PSN), melalui Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Menurut Walhi, sejumlah aturan dalam Perpres tersebut berpotensi mengabaikan unsur kehati-hatian dalam memperhatikan dampak lingkungan di wilayah sekitar proyek.
"Terbitnya perpres ini lagi-lagi mengatasnamakan pemulihan ekonomi. Sayangnya tidak nampak upaya perlindungan lingkungan hidup yang semakin diujung tanduk. Tidak ada juga upaya mengevaluasi dampak Proyek Strategis Nasional," ujar Nur.
"Pengabaian terhadap perlindungan lingkungan hidup ini tidak berbeda jauh dengan substansi omnibus law Cipta Kerja," tambahnya.
Sebelumnya, Jokowi memangkas jumlah PSN dari 227 menjadi 201 dalam Perpres 109/2020. Proyek meliputi pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, terminal, kawasan industri, dan masih banyak lagi.
![]() |
Terpisah, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Sigit Hardwinarto menjelaskan pembangunan food estate bakal dilakukan di lahan hutan yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung, melainkan sudah terbuka atau terdegradasi atau tidak berpohon lagi.
Ia menyebut kawasan hutan lindung untuk ketahanan pangan (KHKP) akan memanfaatkan kawasan hutan produksi yang dapat dikonservasi.
"Kawasan hutan lindung yang akan digunakan sebagai area food estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan. Namun yang terpenting harus dilakukan di kawasan hutan lindung yang memenuhi syarat sebagai hutan lindung yang sudah tidak ada tegakkan pohon atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi," tuturnya melalui keterangan tertulis.
Menurut Sigit, kegiatan ini bahkan menjadi salah satu upaya pemulihan kawasan hutan lindung dengan pola penanaman kombinasi tanaman hutan dengan tanaman tani, hewan ternak atau perikanan.
Untuk menggunakan kawasan tersebut, proyek juga harus melewati kajian tim terpadu dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Kegiatan food estate, lanjut Sigit, belum boleh dimulai sebelum komitmen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) diselesaikan.
Area yang siap untuk ditanam pangan pun akan diretribusi kepada masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.
(fey/arh)