Saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap pencabutan red notice untuk terpidana kasus hak tagih (Cessie) Bank Bali Djoko Tjandra, Brigadir Junjungan Fortes mengungkapkan telah mencoba mengkomunikasikan instruksi untuk membuat surat penghapusan tersebut ke atasan. Namun ia justru diminta untuk tidak melawan dan cukup menjalankan perintah saja.
Brigadir Junjungan Fortes merupakan anggota Polri yang menjadi salah satu saksi dalam sidang dengan terdakwa mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di hadapan hakim, Fortes mengaku terpaksa mengetik surat untuk Djoko Tjandra karena tidak punya pilihan. Saat itu permintaan membuat surat berasal dari mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Prasetyo Utomo.
Menurut Fortes, ia beberapa kali diminta untuk menghadap di ruangan Prasetyo, yakni pada 8 April dan 4 Mei 2020. Sementara instruksi tersebut, kata dia, disampaikan pada April.
"Diarahkan buat surat orang sipil ke Kadivhubinter (Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri) terkait saudara Djoko Tjandra orang bebas dan tidak bersalah," ungkap Junjungan Fortes dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (7/12).
Padahal, Fortes menuturkan, Prasetyo sebenarnya bukan atasannya langsung, melainkan atasan dari atasannya.
Karena itulah, pada setiap pertemuan dan arahan yang diberikan Presetyo, Fortes selalu melapor ke atasannya langsung, yakni Kepala Bagian Kejahatan Internasional Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divisi Hubungan Internasional Polri Kombes Pol Tommy Arya Dwianto.
Ia sempat mengadukan itu ke Tommy selaku atasannya langsung, bahwa Napoleon memintanya membuat surat untuk kepentingan Djoko Tjandra. Tapi menurut Fortes, Tommy justru memintanya untuk tidak melawan perintah atasan.
"Laksanakan saja perintah jenderal, jangan pernah melawan perintah jenderal," tutur dia menirukan pernyataan Tommy.
Ketika diminta membuat surat itu, Fortes mengatakan sudah mendapatkan bahan draf surat untuk disalin dan diubah dengan nama Djoko Tjandra. Surat tersebut intinya meminta agar Napoleon membantu status hukum pengusaha yang sempat menjadi buron tersebut.
Ia kemudian diminta memindai setidaknya lima surat dan mengirimkannya kepada Prasetyo melalui aplikasi Whatsapp. Kelima surat tersebut, kata dia, terkait Daftar Pencarian Orang (DPO) di imigrasi.
Fortes juga mengaku diminta mengantarkan surat pencabutan red notice Djoko Tjandra ke Kejaksaan Agung. Dalam surat itu, Kejagung diminta mengajukan kembali jika ingin memasukkan terdakwa tersebut ke DPO.
Namun ia bersaksi, tidak membuat surat itu dan tidak mengetahui siapa yang membuatnya. Fortes mengatakan surat tersebut ditujukan ke Kejagung atas nama Napoleon.
Pada pertemuan 4 Mei, Fortes mengatakan sempat diiming-imingi imbalan oleh Prasetyo. Tapi imbalan tersebut tak secara gamblang disebut berupa uang atau bentuk lainnya.
Ia juga tidak menanyakan lebih lanjut perihal itu.
"Beliau sampaikan, nanti kamu dapat lah. Kadiv-mu [Tommy] itu terima banyak. Tapi saya tidak tanya lebih jauh apa maksud beliau," cerita Fortes.
Dalam kasus ini, Napoleon diduga menerima uang sebesar Sin$200 ribu dan US$270 ribu untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO). Uang ini diberikan oleh Djoko Tjandra melalui pengusaha Tommy Sumardi.
![]() |
Dugaan ini kemudian ramai diperbincangkan publik ketika Djoko Tjandra ketahuan bebas keluar-masuk Indonesia ketika hendak mengajukan peninjauan kembali (PK) tanpa terlacak imigrasi, padahal merupakan buron interpol.
Djoko Tjandra sendiri dituntut dua tahun penjara karena memalsukan sejumlah surat demi melancarkan pengajuan PK atas putusan MA terkait kasus korupsi yang membelitnya.
(fey/nma)