Sabtu malam yang cerah di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, 22 Agustus 2020, berubah mencekam ketika kebakaran hebat terjadi di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) yang berada di kawasan itu. Mobil pemadam kebakaran hilir mudik dengan raung sirine yang memekakkan telinga.
Api pertama kali menyala sekitar pukul 19.10 dan kian membesar. Berdasarkan keterangan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, api pertama kali terlihat dari lantai enam.
Kobaran api kemudian terus merambat hingga lantai tiga dan empat gedung utama Kejagung yang berfungsi sebagai ruang intelijen. Sejumlah tahanan Kejagung yang berada di gedung lain pun dievakuasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga pukul 02.00 WIB dini hari, api terus menjalar ke seluruh bagian kiri gedung Kejagung.
Setelah 11 jam terbakar, api yang melalap gedung bundar berhasil dipadamkan sekitar pukul 06.28 WIB. Total ada 65 mobil pemadam kebakaran yang dikerahkan untuk memadamkan api.
Kejagung memperkirakan kerugian akibat kebakaran mencapai Rp1,12 triliun yang terdiri dari bangunan dan barang-barang lain di dalam gedung.
Kecurigaan publik mencuat. Sebagian pihak berprasangka kebakaran Gedung Kejagung sebagai suatu rekayasa untuk kepentingan kasus hukum tertentu. Terlebih, saat itu Korps Adhyaksa sedang diguncang skandal suap yang melibatkan salah satu jaksa mereka, Pinangki Sirna Malasari.
Jaksa Pinangki ditangkap dan ditahan pada 12 Agustus 2020 terkait kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk buron Djoko Tjandra.
Kejanggalan Kebakaran
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman melontarkan dugaan 'pembakar bayaran' dalam peristiwa kebakaran tersebut.
Boyamin mengaitkan dengan pengusutan terhadap Jaksa Pinangki .Hal ini diperkuat dengan CCTV yang hilang di gedung utama Kejagung. Padahal, menurut Boyamin, CCTV ini bisa mengungkap dengan siapa saja Pinangki bertemu.
"Itu kan setidaknya kegiatan orang-orang tersebut jadi tidak terpantau, tidak ada barang bukti yang lebih konkret, misalnya karena apa prosesnya ini menjadi hilang semua," tutur Boyamin pada 24 Oktober 2020.
Sejumlah kejanggalan juga disampaikan beberapa pihak. Pengamat intelijen dan keamanan UI, Stanislaus Riyanta misalnya, menyebut ada potensi sabotase dalam peristiwa kebakaran tersebut lantaran Kejagung tengah mengusut sejumlah kasus hukum besar di dalam negeri.
Kasus itu di antaranya berupa dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya dan kasus Djoko Tjandra yang menyeret jaksa Pinangki.
Ia juga berkaca pada peristiwa kebakaran yang telah beberapa kali terjadi di gedung Kejagung.
"Opini dan peluang sabotase bisa terlihat dengan banyaknya kasus-kasus besar yang ditangani Kejagung, maka harus segera dilakukan penyidikan dan investigasi," kata Stanislaus, pada 23 Agustus 2020.
![]() |
Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto, pada 22 Oktober 2020, menduga ada intervensi dalam pengusutan kasus karena polisi sempat mengungkap ada unsur kesengajaan di awal penyelidikan.
"Sekarang setelah penyidikan, timbul pertanyaan apakah ada intervensi sehingga dikatakan tidak ada kesengajaan," ucapnya.
Namun Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meminta agar publik tidak menyebar asumsi terkait peristiwa kebakaran tersebut. Politikus Golkar itu berharap peristiwa kebakaran tidak mengganggu kinerja penanganan hukum yang diproses Kejagung.
Sementara itu jaksa agung ST Burhanuddin memastikan tidak ada berkas perkara atau alat bukti yang terbakar dalam peristiwa tersebut.
Penyebab Kebakaran
Bareskrim Polri sendiri telah mengungkap penyebab kebakaran lantaran api terbuka (open flame) di aula Biro Kepegawaian lantai 6 gedung Kejagung. Polisi mengaku tidak menemukan unsur kesengajaan.
Dari hasil penyidikan, titik api itu disebabkan oleh bara api dari rokok lima orang kuli bangunan yang sedang mengerjakan proyek pembangunan di gedung tersebut.
![]() |
Padahal, di lokasi proyek itu terdapat benda-benda yang mudah terbakar, seperti tinner, lem aibon, dan cairan pembersih lantai merk TOP Cleaner yang tidak memiliki izin edar dan mudah terbakar. Saat api menyala, lima orang kuli bangunan itu sudah tak ada di lokasi.
Kelalaian para kuli itu disebut tak luput dari tanggung jawab mandor dalam proyek yang saat itu tidak berada di lokasi dan mengawasi para kuli.
Selain itu, berdasarkan penyidikan, terungkap bahwa Kejagung sudah dua tahun menggunakan cairan pembersih TOP Cleaner tersebut. Cairan itu diklaim polisi memicu api menjadi lebih besar hingga akhirnya menghanguskan gedung utama Korps Adhyaksa.
Penetapan Tersangka
Bareskrim Polri menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus kebakaran Kejagung pada 23 Oktober 2020. Delapan tersangka itu yakni lima kuli bangunan berinisial T, H, S, K dan IS. Kemudian, mandor berinisial UAM, Direktur Utama PT APM berinisial R, serta TPK (Tim Pengelola Kegiatan Pengadaan Barang/Jasa) Kejagung berinisial NH.
Mereka dijerat Pasal 188 KUHP jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP terkait dengan menyebabkan kebakaran karena kealpaan atau kelalaian.
Penetapan tersangka dilakukan usai polisi melakukan gelar perkara dua hari sebelumnya yakni pada 21 Oktober 2020. Polisi telah memeriksa 131 saksi mulai dari petugas kebersihan, office boy, pegawai kejaksaan dan juga para ahli.
Sejumlah barang bukti juga turut diamankan, antara lain, rekaman CCTV, abu bekas kebakaran atau hidrokarbon, potongan kayu, botol plastik berisi cairan, jeriken isi air, gas cleaner yang disimpan di gudang cleaning service, dan lainnya.
Selang sebulan, polisi kembali menetapkan tiga tersangka baru, tepatnya pada 13 November 2020. Mereka yakni peminjam bendera PT APM berinisial MD, Konsultan Pengadaan ACP berinisial JM, dan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kejagung, IS.
Tersangka MD berperan memerintahkan pembelian minyak lobi atau cairan pembersih yang belakangan diketahui menjadi akselerator atau mempercepat api menjalar. Sementara dua tersangka lain ditetapkan terkait pengadaan Aluminium Composite Panel (ACP) di gedung Kejagung.
(dis/psp)