Lima mantan petinggi PT Waskita Karya (Persero) didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp202 miliar terkait pembuatan 41 kontrak pekerjaan fiktif.
Kelima terdakwa itu antara lain mantan Kepala Divisi III/Sipil/II Waskita Karya, Desi Aryyani; mantan Kepala Divisi II Waskita Karya, Fathor Rachman; mantan Direktur Utama PT Waskita Beton Precast, Jarot Subana.
Kemudian Kepala Bagian Pengendalian Divisi II dan Wakadiv Sipil Waskita Karya, Fakih Usman; dan mantan Kabag Keuangan Divisi Sipil/Divisi III/Divisi II Waskita Karya, Yuly Ariandi Siregar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain serta korporasi," kata Jaksa Ronald F. Worotikan saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/12).
Kelima terdakwa itu disebut memperkaya diri sendiri dan orang lain terkait pekerjaan subkontraktor fiktif PT Waskita Karya.
Rinciannya Desi Arryani sebesar Rp3,4 miliar; Fathor Rachman Rp3,6 miliar; Jarot Subana Rp7,1 miliar; Fakih Usman Rp8,8 miliar; dan Yuly Ariandi Siregar Rp47,3 miliar.
Pihak lain yang diduga juga diperkaya terkait pekerjaan fiktif perusahaan plat merah tersebut yakni Haris Gunawan Rp1,52 miliar; Dono Parwoto Rp1,36 miliar; Imam Bukori Rp6,18 miliar; Wagimin Rp20,5 miliar; serta Yahya Mauluddin Rp150 juta.
Sementara korporasi yang diduga juga diuntungkan dari proyek fiktif tersebut, antara lain PT Safa Sejahtera Abadi sebesar Rp8,16 miliar; CV Dwiyasa Tri Mandiri Rp3,83 miliar; PT MER Engineering Rp5,79 miliar; serta PT Aryana Sejahtera Rp1,7 miliar.
"Yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp202.296.416.008, atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut," kata jaksa KPK.
Dalam surat dakwaan, terungkap cara para terdakwa membuat kontrak fiktif untuk sejumlah pekerjaan Waskita Karya. Awalnya, pada Desember 2009, Jarot Subana dan Desi Arryani melakukan rapat koordinasi tentang kebutuhan penyediaan dana non-budgeter untuk membiayai pengeluaran di luar anggaran PT Waskita Karya.
Di antaranya untuk pemberian fee kepada subkontraktor, pemberian kepada pejabat Divisi Sipil/ Divisi III/ Divisi II dan pemilik pekerjaan serta pihak-pihak lainnya, pembelian peralatan yang tidak tercatat sebagai aset perusahaan, dan pengeluaran lain yang tidak didukung bukti.
Guna membahas penyediaan dana tersebut, dilakukan rapat-rapat dan pertemuan yang dihadiri oleh Desi Arryani, Fathor Rachman, Jarot Subana, Fakih Usman, Haris Gunawan, dan Dono Parwoto.
Dalam pertemuan itu disepakati strategi untuk menghimpun dana non-budgeter dengan cara membuat kontrak beberapa pekerjaan subkontraktor fiktif yang melekat pada proyek-proyek utama yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya.
Nantinya, pembayaran atas pekerjaan kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor fiktif tersebut dikembalikan lagi (cash back) kepada Divisi Sipil/Divisi III/Divisi II PT Waskita Karya. Perusahaan-perusahaan subkontraktor fiktif yang ditunjuk diberikan fee 'peminjaman bendera' sebesar 1,5 hingga 2,5 persen dari nilai kontrak.
Perusahaan-perusahaan yang dipinjam dalam kasus ini antara lain PT Mer Engineering milik Dono Purwoto, PT Safa Sejahtera Abadi yang terafiliasi dengan Fakih Usman, dan CV Dwiyasa Tri Mandiri yang terkait dengan Haris Gunawan. Desi Arryani lantas menyetujui perusahaan tersebut.
Setelah itu, dibuatkan kontrak dengan nilai tertentu, dengan menambahkan komponen perhitungan yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan fee untuk perusahaan subkontraktor yang telah disetujui sebesar 1,5 sampai 2,5 persen dari nilai kontrak yang disampaikan kepada para kepala proyek. Padahal para kepala proyek tahu kontrak-kontrak itu fiktif.
Sepanjang tahun 2009 sampai Mei 2011 telah ditandatangani 21 kontrak pekerjaan fiktif yang melekat pada 14 kontrak pekerjaan utama Waskita Karya. Selain itu, terdapat 20 kontrak pekerjaan fiktif yang dibuat sepanjang Juni 2011-Agustus 2013.
Kelima mantan petinggi Waskita Karya itu didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
(ryn/fra)