Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut ada anomali demokrasi di Indonesia usai 25 calon tunggal memenangkan pertarungan pada Pilkada Serentak 2020.
Titi menyampaikan, Indonesia menganut sistem multi partai. Jumlah suara yang diperebutkan juga besar. Seharusnya kedua hal itu mendorong persaingan sempurna bagi kandidat kepala daerah.
"Anomalinya calon tunggal malah menguat, 25 calon tunggal semuanya menang. Tidak ada yang mendapatkan perlawanan berarti, kecuali Humbang Hasundutan agak kompetitif," papar Titi dalam diskusi daring, Kamis (17/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melihat ada kecenderungan peningkatan calon tunggal. Titi merinci ada 3 calon tunggal pada 2015, 9 calon tunggal pada 2017, 16 calon tunggal pada 2018, dan 25 calon tunggal tahun ini.
Titi lantas menyoroti fenomena politik kekerabatan yang kian menguat. Ia menilai dua fenomena tersebut jadi indikasi kegagalan partai politik melakukan kaderisasi.
"Ini tidak sehat karena dia membatasi akses dan inklusivitas pemilihan. Padahal pemilihan itu harus inklusif, harus bisa dijangkau terutama kader-kader partai," ucap Titi lagi.
Ia pun memberikan sejumlah rekomendasi untuk menangkal tren calon tunggal dan politik kekerabatan. Titi menyarankan penghapusan ambang batas pencalonan agar partai politik tidak berfokus mengusung satu paslon saja.
Kemudian, ia mengusulkan pengaturan syarat minimal untuk para calon kepala daerah. Titi ingin, calon kepala daerah sudah menjadi kader partai paling sedikit 3 tahun.
"Supaya tidak ada lagi karena punya popularitas, punya modal, anaknya si ini, anaknya si itu, tiba-tiba masuk partai dan langsung jadi calon. Sebaiknya kader yang diusung oleh partai," ujar Titi.
Pada Pilkada tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada 25 daerah dengan pasangan calon tunggal. Beberapa di antaranya Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Kota Pematangsiantar, Kota Semarang, Kabupaten Wonosobo, Kediri, juga Kabupaten Ngawi.
![]() |