Kocok ulang kabinet atau reshuffle di penghujung tahun, menurut sejumlah pengamat politik, menjadi waktu ideal bagi Presiden Joko Widodo untuk membangkitkan kepercayaan publik yang turun terhadap pemerintah.
Ada sejumlah hal mendesak yang harus segera dibenahi Jokowi dalam kinerja setahun belakangan. Terutama soal pandemi dan isu korupsi yang menimpa dua menteri.
Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto menilai alasan objektif dan subjektif untuk melakukan perombakan kabinet sudah terpenuhi. Alasan objektif di antaranya adalah kursi dua menteri kosong yang harus diisi, sedangkan salah satu alasan subjektif adalah ihwal keluhan Jokowi terhadap kinerja beberapa menteri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diketahui, Jokowi sempat mengeluh karena menteri jajarannya bekerja biasa saja di masa pandemi Covid-19. Secara spesifik, ia juga menyoroti soal realisasi anggaran yang rendah.
"Sekarang ini, ya, cukup ideal-lah dari segi waktu. Ada kemendesakan," kata Arif kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (22/12).
Arif menyoroti sejumlah pos kementerian yang harus dibenahi oleh Jokowi. Kebanyakan berkaitan dengan pandemi Covid-19 seperti Kementerian Kesehatan, kementerian yang terkait dengan perekonomian, hingga Kementerian Ketenagakerjaan.
"Saya paham menangani pandemi tidak mudah. Memang kita butuh menteri yang bukan hanya cekatan, tapi juga koordinatif. Ini yang kita lihat lemah," imbuh dia.
![]() |
Arif secara khusus juga menyoroti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah nakhoda Nadiem Makarim. Menurut dia, kementerian ini seharusnya tidak sekadar 'menyuapi' industri atau seolah-olah hanya berfungsi menghasilkan calon tenaga kerja yang terampil saja.
"Harapan orang kan tinggi terhadap kementerian ini, lalu program-program yang mereka ajukan beberapa menarik gitu. Tapi, rasanya kita butuh akselerasi yang lebih kuat lagi. Jadi, mungkin salah satu faktor karena Nadiem tidak berasal dari birokrat karier," ucap Arif.
Di luar itu ia juga mengkritik Kementerian Riset dan Teknologi yang tidak terdengar kinerjanya, serta Kementerian Perencanaan Pembangunan/ Bappenas.
"Saya melihat bahwa Soeharso [Kepala Bappenas] potensial sebenarnya. Tapi, di Bappenas saya belum melihat terobosan. Enggak tahu, jangan-jangan dia lebih tepat di kementerian lain," imbuh Arief.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina ini menyimpulkan bahwa perombakan kabinet menjadi momentum Jokowi untuk menyiapkan strategi baru untuk secepatnya mengatasi pandemi Covid-19. Sebab, menurut dia, pandemi bukan hanya sebatas persoalan kesehatan saja.
"Iya yang paling mendesak memang penyelesaian pandemi, bukan hanya dari sisi kesehatan. Karena seandainya pun vaksin sudah ada, sudah disuntikkan ke 270 juta rakyat tidak lalu masalah selesai," ucap dia.
"Karena berkaca pada pengalaman negara tertentu yang relatif berhasil mengatasi pandemi, ternyata juga muncul masalah lain. Misal dalam situasi globalisasi, nyaris tidak ada negara yang tidak terkoneksi. Anggaplah negara Anda beres, tapi kalau negara lain belum beres, ekonomi juga sulit bergerak, kan?" tambahnya.
![]() |
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Andalas Asrinaldi menilai perombakan kabinet merupakan sesuatu yang bersifat urgen. Sejumlah hal melatarbelakangi antara lain kinerja beberapa menteri yang tidak maksimal setelah ditegur presiden hingga adanya dua menteri yang ditangkap KPK.
"Urgennya di situ," kata Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/12).
Ia pun menyoroti Kementerian Kesehatan yang tidak bekerja dengan optimal selama masa pandemi Covid-19 ini.
"Itu perlu disorot habis itu," tandasnya.
Di luar itu, Asrinaldi juga meminta agar Jokowi mengevaluasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Ketenagakerjaan yang dengan kebijakan-kebijakannya belum bisa memberikan manfaat penuh kepada masyarakat.
"Pendidikan, kesehatan, kemudian ketenagakerjaan. Ini harus menjadi perhatian karena berkaitan dengan layanan dasar masyarakat," ucapnya.