Presiden Joko Widodo menunjuk Budi Gunadi Sadikin menjadi Menteri Kesehatan kemarin sore, Selasa (22/12). Eks wakil menteri BUMN itu diminta menggantikan Terawan Agus Putranto yang banyak menuai kritik selama pandemi covid-19.
Budi sendiri memiliki latar belakang yang berbeda jauh dari Terawan, bahkan berbeda jauh dari menteri kesehatan dalam sejarah RI. Ia tak punya kiprah di dunia kesehatan, bukan dokter dan lebih banyak bergelut di perekonomian.
Dengan rekam tersebut, sosok Budi diragukan mampu optimal memimpin kementerian dan instansi yang mengurusi kesehatan. Terlebih kalau dirinya tak paham teknis dan seluk-beluk kesehatan di masa pandemi tengah pandemi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya termasuk ragu, pesimis gitu. Kesannya ini kepentingannya hanya pemulihan ekonomi, bukan public health-nya," kata pakar kebijakan publik Trubus Rahadiansyah kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (23/12).
Kerja Budi nanti memang akan dibantu oleh jajaran direktur jenderal di bawahnya. Juga oleh wakil menkes Dante Saksono Harbuwono yang berlatar kesehatan. Namun Trubus berpendapat pemahaman teknis penting dimiliki seorang menteri sebagai pemimpin.
Ia juga khawatir hubungan mantan pendamping Menteri BUMN Erick Thohir itu tak mulus dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Menurutnya, IDI menjadi kelompok kunci yang penting dirangkul Kemenkes, sementara Budi bukan seorang dokter.
Trubus mengakui pada posisi tertentu, sosok yang menjabat menteri tak perlu memiliki latar belakang yang linier dengan bidang kementeriannya. Namun itu hanya berlaku bagi kementerian yang tidak bersifat teknis.
Dalam hal ini, ia mengatakan Kemenkes bersifat sangat teknis. Sehingga dibutuhkan sosok menteri yang setidaknya pernah berkecimpung dan paham dunia kesehatan.
Pada kasus Terawan, ia menduga purnawirawan TNI itu gagal karena tak paham birokrasi dan tak punya kekuatan politik. Ia menilai dibalik semua itu, ada oknum yang juga berupaya menggagalkan mantan ketua RSPAD Gatot Subroto itu.
"Kalau enggak profesional, pinter, ya enggak mungkin Pak Jokowi mengangkat dia jadi kepada RSPAD dan dia terkenal. Jadi itu kenapa gagal? Karena digagalkan oleh orang-orang parpol itu. Itu kan persaingan internal di kalangan elite," katanya.
Trubus mengatakan dugaan ini bisa dilihat dari minimnya peran Terawan dalam penanganan covid-19, yang malah dialihkan ke orang-orang yang juga tak punya latar belakang kesehatan publik.
Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Indonesia Syahrizal Syarif mengatakan latar belakang Budi tak jadi masalah. Namun ia mengingatkan banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi di tengah pandemi dan bisa jadi tantangan besar.
Salah satu yang utama terkait vaksinasi dan 3T (testing, tracing treatment). Mengingat vaksinasi banyak melibatkan BUMN, ia optimis Budi bisa menjalankan vaksinasi dengan baik dan terstruktur. Namun perkara 3T jadi persoalan yang lebih menantang.
"Kita perlu menangani kasus-kasus supaya tidak terjadi angka kematian yang tinggi. Apakah Pak Budi bisa perbaiki? Itu tantangan yang berat. Karena persoalannya tidak semudah punya uang saja," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com.
Syahrizal menjelaskan 3T menjadi kunci dari penanganan pandemi yang tak bisa dilupakan meskipun ada vaksinasi. Ia mengatakan dengan laju penambahan kasus sekarang, prediksinya kasus akan membludak pada Februari.
"Februari nanti dengan kecepatan penambahan kasus seperti sekarang, Februari akan ada 1 juta kasus. Itu artinya beban kasus aktif paling tidak bisa dua kali beban sekarang," lanjutnya lagi.
Sedangkan selama ini, ia menyebut penerapan 3T di lapangan sangat lemah. Kapasitas testing dan tracing terbatas. Dan dengan kasus yang terus meningkat, pelayanan kesehatan juga mulai kewalahan.
Namun berkaca dari jejak Terawan, Syahrizal menyadari peran menteri kesehatan tak hanya butuh pemahaman teknis, tapi juga kemampuan memimpin. Hal ini yang diharapkan ada di sosok Budi.
Terlebih dengan agenda vaksinasi yang mencakup mayoritas masyarakat di Indonesia. Kemampuan berkoordinasi dan memastikan vaksinasi, kata dia, paling dibutuhkan dalam hal ini.
"Juga diperhatikan itu prioritas pemberian vaksin terhadap [orang usia] 18-59 tahun adalah kebijakan yang tidak memiliki dasar ilmiah. [Budi] Harus berani mengubah. Kita utamakan tenaga kesehatan dan yang lansia dan komorbid," tambah dia.
(wis/fey/wis)