Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus turun tangan menyelesaikan polemik mengenai lahan yang dibangun pesantren oleh Yayasan Pesantren Agrokultural Megamendung.
Pernyataan itu menindaklanjuti klaim FPI yang menyebut bahwa pesantren dibangun karena tanah ditelantarkan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII selaku pemilik Hak Guna Usaha (HGU).
"Ketika sudah ditelantarkan, BPN harusnya turun tangan untuk menetapkan itu sebagai tanah telantar. Kemudian bisa dibatalkan HGU-nya dengan proses yang ada sesuai PP Nomor 11/2010 [tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar]," kata Rakhma kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (28/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rakhma menjelaskan penetapan tanah telantar dimulai dengan melakukan identifikasi dan penelitian yang meliputi nama dan pemegang hak; letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak; dan keadaan yang mengakibatkan tanah telantar.
"Kalau tanahnya ditelantarkan dan digarap masyarakat, ya, itu salahnya perkebunan. Itu kalau enggak ada konflik, ya. Nah, jadi perusahaan yang menelantarkan tanah bisa dibatalkan HGU-nya. Kemudian masyarakat yang menggarap itu diprioritaskan memperoleh redistribusi tanah dari bekas HGU yang sudah dibatalkan," terang Rakhma.
Hanya saja, menurut dia, penetapan tanah telantar dalam kasus lahan pesantren ini cenderung sulit lantaran BPN masih menganggap itu sebagai aset negara.
"Jadi, meskipun dia sudah dibatalkan HGU-nya, dia harus minta persetujuan dari menteri BUMN dan menteri Keuangan untuk melepaskan aset," imbuhnya.
Pakar Politik dan Kebijakan Agraria, Noer Fauzi Rachman, menambahkan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengalokasikan hingga memberikan status hukum atas tanah dan subjek pemegang hak-hak atas tanah.
"Memang setelah berakhirnya HGU, status tanah kembali menjadi tanah negara, untuk ditetapkan kembali alokasi ya sesuai dengan kewenangan pemerintah yang mengusung kepentingan negara," ujar Noer Fauzi.
Sebelumnya, pentolan FPI Muhammad Rizieq Shihab mengakui bila sertifikat HGU Pondok Pesantren Markaz Syariah Agrokultural atas nama PTPN VIII.
Ia menyatakan, dalam Undang-undang Agraria tahun 1960 disebutkan bahwa sertifikat HGU tidak bisa diperpanjang/akan dibatalkan jika lahan itu ditelantarkan oleh pemilik HGU/pemilik HGU tidak menguasai secara fisik lahan tersebut.
PTPN VIII, menurut Rizieq, telah lebih dari 30 tahun menelantarkan lahan tersebut.
"Maka dari itu seharusnya HGU tersebut batal. Jika sudah batal maka HGU-nya menjadi milik masyarakat," ujarnya pada 13 November lalu.
![]() |
Teranyar, PTPN VIII melayangkan surat somasi terhadap Pondok Pesantren Markaz Syariah Agrokultural untuk segera mengosongkan lahan.
Dalam surat bernomor SB/11/6131/XII/2020 tertanggal 18 Desember 2020 itu dijelaskan bahwa lahan yang dibangun pesantren oleh Yayasan Pesantren Agrokultural Megamendung merupakan aset milik PTPN VIII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.
PTPN VIII memberikan kesempatan bagi pengurus pesantren untuk menyerahkan lahan tersebut kepada pihak PTPN VIII paling lambat 7 hari kerja sejak diterima surat tersebut.
Apabila peringatan pengosongan itu tidak ditindaklanjuti, PTPN menyebut akan melapor ke kepolisian.
(ryn/arh)