Terawan Agus Putranto sore ini dijadwalkan menyerahkan jabatan menteri kesehatan ke Budi Gunadi Sadikin, Selasa (29/12). Budi telah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai menteri kesehatan di Istana, Selasa (22/12) pekan lalu.
Terawan selama menjabat menteri kesehatan dihadapkan pada situasi pandemi. Covid-19 mewabah berselang bulan sejak Terawan ditunjuk menkes oleh Jokowi. Sejak itu pula polemik merundung Terawan selaku orang paling bertanggung jawab mengurusi bidang kesehatan di pemerintahan Indonesia.
Alih-alih menyiapkan skenario penanganan ketika virus corona (SARS-CoV-2) masuk ke Indonesia, pada Februari silam, Terawan justru merespons ancang-ancang wabah dengan sanggahan. Dia menepis temuan Harvard kala itu yang menyebut corona sudah masuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya, Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi," seloroh Terawan pada 11 Februari 2020.
Pernyataan Terawan menanggapi sejumlah peneliti asing yang kala itu menengarai virus penyebab Covid-19 tersebut telah muncul di Indonesia. Virus ini semula menjangkiti Wuhan, China pada pengujung Desember 2019 dan memang belum sampai ke Indonesia. Tapi satu per satu negara mulai ikut terinfeksi. Hingga akhirnya wabah ini ditetapkan sebagai pandemi.
Benar saja, sebulan berselang dari ucapan Terawan, pada 2 Maret 2020 kasus pertama di Indonesia diumumkan. Semula dua, tiga kasus, hingga kini jumlah kasus baru infeksi virus corona belum bisa dikendalikan.
Bulan-bulan pertama pandemi terjadi kelangkaan masker, hand sanitizer hingga cairan desinfektan hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Harga tak terkendali, warga kesulitan mendapatkan bagian dari alat pelindung diri tersebut.
Pakar kesehatan dan epidemiolog tak henti memberikan masukan juga kritik atas penanganan pandemi di Indonesia. Mulai dari keterbukaan data pasien untuk melakukan pelacakan kontak (tracing), compang-camping data pusat dan daerah, peningkatan fasilitas pemeriksaan hingga soal jaminan ke tenaga kesehatan.
Butuh waktu hingga akhirnya kementerian memberikan kewenangan pemeriksaan spesimen Covid-19 ke laboratorium daerah. Padahal epidemiolog tak kurang-kurang mengingatkan bahwa 3T yakni testing, tracing dan, treatment jadi langkah utama penanganan.
Sedangkan upaya testing-tracing-treatment Indonesia tak kunjung memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menganjurkan testing 1000/1 juta penduduk dalam sepekan.
Sementara dari sisi penelusuran kontak (tracing), Indonesia juga belum bisa menyesuaikan standar WHO. Idealnya, dalam 1 penemuan kasus positif, penelusuran kontak dilakukan kepada 20-30 orang kontak erat.
![]() |
Lihat juga:Labirin Merah-Kuning-Hijau Jokowi |
Problem lain, upaya tracing ini juga harus menghadapi kenyataan: kurangnya petugas penelusuran kontak.
Alih-alih memperkuat 3T, pemerintah terus mengulang kampanye taat protokol kesehatan berupa 3M yakni mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Padahal ahli telah mengingatkan, 3M harus dibarengi penerapan 3T yang tepat.
"Kesalahan terbesar [pemerintah] adalah pengendalian tanpa konsep dan sebatas jargon. Jargon 3M, 3T. Itu sudah usang, sudah hampir tujuh bulan dilakukan hasilnya tidak ada perubahan. Arahnya semrawut, tidak jelas," ungkap Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane kepada CNNIndonesia.com, Minggu (27/9) lalu.
Masalah di hulu itu juga berdampak pada penanganan di hilir yakni tenaga medis hingga rumah sakit. Buruknya testing dan tracing berimbas pada lamanya deteksi.
Pasien Covid-19 yang lambat ditemukan karena penelusuran kontak yang minim pun berpotensi membuat gejala pasien kian berat dan harus dirawat di rumah sakit. Alhasil lonjakan kasus Covid-19 boleh jadi tak sebanding dengan kapasitas tempat tidur di rumah sakit rujukan.
Jika kondisi itu berlangsung terus-menerus, ketahanan rumah sakit sebagai benteng terakhir penanganan pandemi berada di ujung tanduk. Sesaknya rumah sakit dengan pasien Covid-19, ditambah tenaga medis yang kelelahan menangani pasien, menjadi konsekuensi langsung dari upaya pencarian kasus positif di hulu yang tidak maksimal.
Satu per satu tenaga medis berguguran. Catatan Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendapati hingga 15 Desember ada 202 kasus kematian dokter terpapar Covid-19. Ini belum termasuk tenaga medis lain seperti perawat.
Selain karena profesi yang rentan tertular Covid-19, tenaga kesehatan harus berjibaku dengan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) yang minim, jam kerja panjang dan, beban kerja yang berat.
Hingga tiba bulan ke-sembilan pandemi, akumulasi kasus menembus angka setengah juta pada 23 November lalu. Tapi kurva kasus tak kunjung tampak melandai.
Lambannya penanganan pandemi tak habis-habis mengundang kritik pandemi. Sudah memasuki bulan ke-10 wabah, Indonesia masih berkutat pada ketidaksinkronan data kasus antara daerah dengan pusat.
"Masa sudah 10 bulan masih bicara data ya, kalau untuk data itu mestinya bisa diselesaikan sejak bulan pertama pandemi, kalau sudah 10 bulan masih bicara data itu kan ga masuk akal juga menurut saya. Jadi kemarin-kemarin ngapain aja," kata Masdalina saat dihubungi Jumat (4/12).
"Kalau memang pusat merasa masalahnya di data, ya benerin lah, masa sudah sekian bulan datanya nggak bener, itu kan malu kita," imbuh dia.
![]() |
Padahal, Indonesia masih dibayangi kemungkinan penularan atau transmisi virus corona yang masih masif di tengah masyarakat. Ini mengingat, rasio positif atau positivity rate masih menunjukkan angka tinggi.
Sehingga, lonjakan kasus baru positif pun tak pelak masih mungkin bermunculan.
"Kalau positivity rate lebih dari 5 persen, artinya laju penyebaran masih tinggi di masyarakat, kasus 8.369 kemarin bukan cuman [masalah] pencatatan," tukas Masdalina menyinggung soal angka kasus baru harian yang saat itu jumlahnya memecahkan rekor.
Per Selasa (29/12) secara akumulatif kasus positif Covid-19 tercatat 719.219 orang. Grafik penambahan kasus belum menunjukkan pelandaian, saban harinya kasus baru bertambah di kisaran 600 ribu hingga 700 ribu kasus.