Gunung Merapi mengalami erupsi sejak Rabu (26/1) siang. Namun sejumlah warga Padukuhan Turgo, Kalurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih ada yang enggan mengungsi.
Pengelola pengungsianWatuadeg, Eko TriWidaryanto mengatakan sekitar 40 keluarga dari RT 01 dan RT 02 belum bersedia dievakuasi karena merasa lokasi tempat tinggal mereka jauh dari hulu Sungai Boyong.
"Untuk ancaman awan panas masih relatif aman, namun tidak menutup kemungkinan nanti mereka juga bisa digeser ke barak," kata Eko kepada CNNIndonesia.com, Kamis (28/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga yang enggan dievakuasi tersebut, kata Eko, rata-rata karena mempertimbangkan hewan ternak mereka. Padahal wilayah mereka hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak Merapi, dan termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III.
Sementara itu, sebanyak 63 keluarga dengan total 145 jiwa telah mengungsi di barak pengungsian utama di Watuadeg.
"Mereka warga Turgo dari RT 03 dan RT 04, serta sebagian dari warga RT 02," jelas Eko.
Eko menambahkan, di Desa Purwobinangun telah disiapkan dua barak pengungsian dengan total kapasitas 300 jiwa. Sementara total warga di Padukuhan Turgo sekitar 500 jiwa dari 150 KK.
Eko mengatakan pihaknya telah berkoordinasi untuk meminjam gedung sekolah yang berdekatan dengan lokasi pengungsian sebagai barak tambahan, jika sewaktu-waktu warga harus dievakuasi karena peningkatan aktivitas Gunung Merapi.
Mereka juga berencana mendirikan barak pengungsian untuk hewan ternak warga.
Sementara di Padukuhan Kalitengah Lor, Kalurahan Glagaharjo, Kapanewon Cangkringan, para lansia kembali ke pengungsian di Glagaharjo pada Rabu (27/1) malam. Padahal mereka baru pulang setelah sekitar dua bulan mengungsi.
Para lansia itu takut akan erupsi Merapi yang terus menerus terjadi. Meskipun, luncuran lava dan awan panas ke arah barat daya, sementara posisi mereka berada di Tenggara.
![]() |
Camat Cangkringan Suparmono menjelaskan pada Rabu malam ada 41 lansia yang kembali ke barak pengungsian Glagaharjo. Namun pada Kamis pagi, mereka sudah kembali ke atas.
"Saat ini masih bertahan lima orang," ujarnya.
Selain itu, lanjut Suparmono, ada 10 orang yang juga memilih tetap tinggal di pengungsian Plosokerep, Kelurahan Umbulharjo. Mereka merasa khawatir dengan peningkatan aktivitas Merapi.
"Warga melihat perkembangan Merapi. Sepanjang mereka merasa tidak tenang, maka ada kemungkinan mereka akan turun (mengungsi)," ujarnya.
Sementara itu melalui siaran pers virtual, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko Budi Lelono menyatakan bahwa hingga kini aktivitas Gunung Merapi masih tinggi sehingga warga diimbau untuk menjauhi daerah bahaya Merapi, dengan radius 5 km dari puncak gunung.
Eko memaparkan, sejak awan panas muncul pertama kali pada 7 Januari 2021 lalu, hingga kini sedikitnya tercatat 95 kali awan panas guguran, dengan jarak luncur terjauh 3 kilometer.
"Pada Rabu (27/1) kemarin terjadi 52 awan panas guguran dari puncak Merapi dengan jarak luncur maksimal 3 Km ke arah barat daya, terutama di hulu sungai boyong dan sungai Krasak," tuturnya.
Hujan abu yang dilaporkan terjadi di sejumlah lokasi menurutnya wajar karena produksi material halus dari erupsi terbawa tiupan angin.
Eko menganggap, Gunung Merapi memiliki ciri khas erupsi sehingga tipe erupsinya disebut tipe Merapi. Yakni berupa pertumbuhan kubah lava, kemudian terjadi guguran lava, dan awan panas guguran sebagaimana yang terjadi pada akhir-akhir ini.
(sut/pmg)