Tak Penuhi Standar Telusur WHO, Satgas Berdalih SDM Terbatas

CNN Indonesia
Rabu, 03 Feb 2021 21:00 WIB
Satgas tengah mengupayakan target tracing atau telusur pasien Covid-19 dengan perbandingan 1:30 sesuai standar WHO.
Satgas berupaya mengejar target tracing atau pelacakan 1:30 sesuai standar WHO. (Foto: CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyatakan masih terus berupaya mengejar target tracing atau telusur atau pelacakan pasien Covid-19 dengan rasio 1 berbanding 30.

Artinya, bila seorang terpapar Virus Corona, maka 30 kontak eratnya harus ikut diperiksa.

Satgas mengaku kendala utama menuju target ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu karena jumlah sumber daya manusia (SDM) yang terbatas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Rasio paling ideal memang 1:30, tapi kenyataannya paling tinggi, misalnya di Deli Serdang 1:13 orang. Itu memang diupayakan meski masih kendala jumlah SDM," kata Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander K Ginting saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (3/2).

Alex menjelaskan, idealnya jumlah tracer atau petugas untuk melakukan penelusuran kontak berdasarkan anjuran John Hopkins University adalah 30/100 ribu orang.

Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270 juta orang, menurut Alex, seharusnya jumlah tracer di tanah air minimal 80 ribu orang yang tersebar.

"Ini kita hanya 5 ribuan tracer, dan itu masih bekerja di 51 kabupaten/kota, jadi memang minim jumlahnya," kata dia.

Selain jumlah SDM, Alex mengaku kendala lain adalah bahwa tidak semua petugas di daerah paham dengan aplikasi Silacak yang dirilis Satgas pada Oktober 2020 lalu.

Aplikasi tersebut berfungsi untuk mendata dan mengintegrasikan temuan di lapangan soal kasus covid-19 dan kontak eratnya.

Namun demikian, Alex mengaku pemerintah terus berupaya meningkatkan hasil tes, salah satunya menargetkan pemeriksaan covid-19 dengan rasio 1/1.000 penduduk per pekan di setiap kecamatan.

"Kemudian juga melakukan 100 persen kontak erat pada kasus konfirmasi dan 90 persen kasus yang ada diisolasi, mereka dikarantina kurang dari 24 jam sejak teridentifikasi dan di-follow up selama 14 hari," ungkapnya.

Infografis Beda GeNose, Rapid Antigen dan Swab PCR untuk Tes Covid-19Infografis Beda GeNose, Rapid Antigen dan Swab PCR untuk Tes Covid-19. (Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian)

Terpisah, Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menilai dalam kurun waktu 11 bulan pandemi ini sudah sewajarnya pemerintah dan warga belajar penguatan strategi hulu tes, telusur, dan tindak lanjut (3T).

Sementara masyarakat benar-benar mematuhi protokol kesehatan 3M yang meliputi memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

Perihal 3T, Windhu mengatakan wajib bagi pemerintah melakukan tes dan telusur terhadap rasio ideal dari WHO yakni 1:30, serta dilanjutkan dengan strategi isolasi yang tepat guna.

"Tracing yang ideal ya 1:30, kita sekarang tidak sampai 10 lho ya per satu orang positif. Padahal kontak erat harus dilacak semua, dan kita bisa dapat banyak kasus sehingga segera bisa diisolasi," kata Windhu.

Perihal isolasi, Windhu meyakini tak seluruh penyintas covid-19 harus dirujuk ke Rumah Sakit (RS).

Sebab, menurut Windhu, RS sepatutnya hanya untuk perawatan pasien covid-19 dengan gejala berat hingga kritis yang membutuhkan perawatan di ruang intensive care unit (ICU).

Sehingga solusi yang dibutuhkan adalah memperbanyak tempat isolasi mandiri yang dipantau petugas kesehatan.

Ia juga tak mengimbau pemerintah membangun fasilitas baru, melainkan hanya mengalihkan beberapa bangunan untuk kebutuhan isolasi itu.

"Jadi kan 45 persen tanpa gejala, dan yang betul-betul berat butuh RS itu sebenarnya tidak sampai 20 persen, terus 3 persen critical. Jadi yang kita butuhkan adalah tempat isolasi non RS," pungkas Windhu.

(khr/psp)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER