Bobby Muhammad Iqbal kehilangan ibunya, Kamis dua pekan lalu (21/01) karena serangan jantung.
Almarhumah, tulis Bobby di akun Twitternya @ibobmz, "terlambat masuk ICU" karena rumah sakit di Bandung tempat sang ibu tinggal sesak oleh pasien COVID.
Twit ini kemudian viral dan direspons oleh lebih dari 8000 pengguna Twitter dan mendorong munculnya berbagai kisah serupa. Pendeknya, pandemi yang berkepanjangan menyebabkan pasien non-COVID menghadapi persoalan yang sama dengan pasien COVID-19: kehabisan kamar rawat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Jakarta, Bekasi, Bogor, Yogyakarta, juga di Jateng, Jatim dan Jabar, pemerintah mengumumkan keterisian rumah sakit nyaris mencapai puncak. Pada kenyataannya, seperti yang dialami ibu Bobby, RS tak mampu menampung pasien lagi.
Di berbagai tempat seperti Surabaya, Magetan atau Jakarta, fasilitas RS atau Puskesmas bahkan ditutup karena nakes (tenaga kesehatan) setempat tertular dari pasien.
Dari kekurangan faskes (fasilitas kesehatan), krisis menjalar pada kekurangan nakes. Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan sedikitnya 600 nakes meninggal akibat COVID. Bahkan juga terjadi kekurangan lahan makam dan kebutuhan peti mati naik drastis.
Kasus COVID-19 ke sejuta yang terjadi pekan lalu, menurut ahli biologi molekuler Ines Atmosukarto sudah menandakan pandemi akan merusak tatanan sistem kesehatan di masa depan.
Lebih lagi, karena meski angka resmi menunjuk 1 juta, tingkat laju kasus baru (positivity rate) yang menunjukkan angka 20-30% mengindikasikan kasus sesungguhnya bisa beberapa kali lipat.
"Itu bukan jumlah yang kecil. Selain itu bukan hanya korban COVID-19 yang perlu kita pikirkan. Banyak sekali program kesehatan masyarakat yang sifatnya rutin seperti screening kanker, TBC, dan lain-lain yang tidak tertangani dengan baik untuk paling sedikit dua tahun di masa yang akan datang. (Maka) akan terjadi krisis kesehatan lainnya," kata Ines melalui aplikasi berbalas pesan elektronik dari tempatnya tinggal di Australia.
Beban terhadap faskes dan nakes bisa makin berat karena sampai saat ini ilmu pengetahuan belum mampu memetakan dengan pasti dampak kesehatan seorang mantan pasien dalam jangka panjang.
"Sekali lagi bukan hanya korban COVID-19 yang perlu kita pikirkan. Yang belum kita ketahui adalah apakah orang yang pernah terinfeksi SARS-CoV2 akan memiliki kondisi kesehatan jangka panjang yang nanti akan membebani sistem kesehatan dan menghambat potensi mereka untuk berkontribusi pada perekonomian --- karena pemerintah kelihatannya fokus banget sama perekonomian."
Studi kasus menunjukkan tanda-tanda COVID-19 yang tak pulih sepenuhnya (diistilahkan sebagai long COVID atau long-haulers) muncul antara lain pada pasien yang kehilangan kemampuan membaui dan merasakan (anosmia). Kemampuan ini tak kunjung membaik meski sudah berbulan-bulan dinyatakan negatif.
Sementara itu kelompok pasien di Inggris dan AS melaporkan dampak berupa penyakit jantung, kerusakan ginjal, dan paru-paru berat setelah COVID pergi. Akibatnya, mereka memerlukan perawatan jangka panjang seumur hidup yang membebani anggaran kesehatan dan menurunkan produktivitas kerja.
Ancaman krisis lain datang dari virus yang makin lincah bermutasi. Setelah varian Afrika Selatan (berkode B.1.351), muncul juga varian Brazil (P.1) dan yang dianggap paling mengancam, varian Inggris (B.1.1.7).
Studi sementara menunjukkan varian Inggris dianggap lebih berbahaya karena lebih mudah menyebar dan kini telah terdeteksi di hampir separuh dunia.
Lihat juga:Ridwan Kamil: 3M Jebol, 3T Rapuh |
Menurut para peneliti Universitas Yale, pada bulan Maret mendatang mayoritas kasus di AS akan bersumber dari varian baru ini. Cara paling efektif untuk menekan adalah dengan mencegah penularan di level lokal.
Cara lain seperti menutup perbatasan dianggap tak terlalu efektif. Terbukti, penyebaran B.1.1.7 yang tetap masif meski berbagai negara saling menutup perbatasan.
Makin lama pandemi bertahan, kemungkinan mutasi virus akan makin besar, begitu pula kemungkinan penyebaran secara global dan ini dapat menimbulkan krisis baru karena kesulitan pencegahan dan pengobatan.
"Pemerintah tiap negara perlu menunjukkan pada publik bagaimana risiko varian baru ini dan memperketat kebijakan pandemi, baik yang yang bisa dilakukan oleh individual, melalui prosedur regulasi, melalui rekayasa teknologi, maupun kontrol sosial," demikian kesimpulan laporan ilmiah para peneliti Yale School of Public Health yang baru diterbitkan akhir Januari.
"Pendeknya, segala yang mungkin menurunkan penularan. Termasuk mengurangi kontak, serta testing, tracing dan identifikasi dan kontrol wabah yang ketat, mendukung kebutuhan isolasi mandiri serta mempercepat vaksinasi."
Pemerintah di pusat dan daerah dalam beberapa bulan berupaya menggenjot fasilitas baru untuk merawat pasien COVID. Sejak pandemi dimulai Maret lalu, menurut Gubernur Jakarta Anies Baswedan, DKI kini punya 100 RS rujukan.
Di Jawa Timur, Tengah dan dan Jawa Barat pemerintah menargetkan penambahan 30 persen kapasitas RS rujukan (menjadi sekitar 36 ribu) untuk menampung lonjakan. Namun berdasarkan hitungan Perupadata, kasus aktif di Indonesia akhir Januari telah mencapai 174 ribu sehingga 30% kebutuhan tempat rawat seharusnya menjadi lebih dari 52 ribu tempat tidur.
Juru bicara Satgas Vaksin dan COVID-19 Nadia Tarmizi kepada CNN Indonesia mengatakan untuk menambah jumlah nakes dengan cepat, pemerintah mempermudah perizinan.
"Pertama, ada 10 ribu perawat baru yang siap dipekerjakan meski belum mengantongi surat registrasi. Kedua, perizinan untuk relawan dipermudah sehingga kita bisa menurunkan gap terhadap jumlah SDM yang dibutuhkan," kata Nadia.
"Kemudian, ada rencana menjadikan seorang dokter spesialis sebagai penanggung jawab pasien sekaligus supervisor untuk 10 dokter umum yang langsung berhubungan dengan pasien. Sehingga ini akan menutup rasio kecukupan antar pasien dan dokter spesialis."
Tetap saja, menurut situs independen LaporCovid-19, sampai awal Januari sudah 23 pasien meninggal dunia karena tak kebagian kamar rawat. Seorang pasien bahkan meninggal dunia dalam taksi setelah 10 RS menolak merawat karena penuh.
Ahli juga sudah mempertanyakan fokus pemerintah pada penambahan faskes dan nakes. Meski mendesak diperbaiki rasio kecukupannya, fokus disarankan dilakukan di hulu, yakni sumber penularan.
"Bagaimana memperbaiki hulu - tentu dengan tes yang masif. Juga meningkatkan tracing untuk mendapatkan kasus sebanyak mungkin," kata Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Masdalina Pane, saat diwawancara CNN Indonesia.
"Tidak usah khawatir dengan jumlah yang banyak. Yang penting ditemukan dengan kondisi ringan dan tanpa gejala, maka prognosis-nya juga akan lebih baik dibanding ditemukan dalam kondisi berat dan kritis. Itu yang akan menyumbang angka kematian tinggi pada pengendalian COVID-19 kita,"
Sampai akhir tahun lalu, Kemenkes menetapkan target baru pemerintah adalah penyediaan lab yang dapat menangani deteksi COVID-19 melalui tes swab PCR minimal satu lab untuk tiap kabupaten/kota. Itu berarti akan tersedia lebih dari 500 lab di seluruh Indonesia.
Pada kenyataannya, sampai kini lab hanya tersedia di sebagian kota besar dengan jumlah terbanyak di ibukota, sehingga sekitar 50% jumlah swab nasional terjadi di Jakarta.
Untuk daerah yang masih sulit dijangkau tes PCR pemerintah merencanakan penggunaan tes cepat antigen, sebagai alternatif terdekat. Rencananya Puskesmas di seluruh Indonesia akan dilengkapi dengan perangkat tes antigen agar dapat menjadi bagian jaringan faskes pendeteksi dini infeksi COVID-19.