Pemerintah pusat merespons isu intoleransi di lingkungan pendidikan dengan mengeluarkan larangan aturan yang mewajibkan atau mencegah seragam dan atribut dengan kekhususan agama di sekolah-sekolah Indonesia.
Larangan itu diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
"Pemda atau sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Jadi karena hak ini di masing-masing individu dan tentunya dengan izin orang tua," demikian isi SKB itu yang diumumkan lewat siaran langsung di Youtube Kemendikbud, Rabu (3/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan tersebut berlaku untuk semua sekolah negeri yang dikelola pemerintah daerah, kecuali di Provinsi Aceh. Artinya, aturan juga tidak berlaku untuk madrasah dan sekolah agama yang dikelola Kementerian Agama, dan sekolah swasta.
Nadiem mengatakan keputusan memakai seragam dan atribut agama harus menjadi keputusan guru, siswa dan orang tua sebagai individu. Ia menegaskan agama apapun tidak akan dilarang maupun diwajibkan menggunakan atribut tertentu di sekolah.
Untuk itu, ia meminta semua sekolah negeri segera mencabut aturan yang tak sesuai dengan SKB dalam waktu maksimal 30 hari. Jika tidak segera mengikuti, sekolah bisa disanksi.
"Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang atribut tersebut (kekhususan agama) paling lama 30 hari sejak SKB ini ditetapkan," tegas mantan bos start-up tersebut.
Sanksi terhadap sekolah dapat diberikan pemerintah daerah berdasarkan mekanisme yang berlaku atau oleh Kemendikbud dengan menyetop pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. Sementara gubernur yang melanggar akan dikenakan sanksi oleh Kementerian Dalam Negeri. Kemudian, bupati atau wali kota akan disanksi gubernur.
Dalam hal ada pemda atau sekolah yang melanggar ketentuan SKB, Kementerian Agama akan memberikan pendampingan dan penguatan keagamaan dan praktik agama yang moderat dan menentukan pemberian dan penghentian sanksi.
![]() |
Dalam kesempatan yang sama, Yaqut mengatakan langkah ini merupakan respons dari kasus pemaksaan siswi memakai jilbab sebagai dalih aturan sekolah di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat.
Ia mengakui masih banyak sekolah yang memiliki aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut agama tertentu. Untuk itu, pihaknya menilai SKB ini penting diterapkan di lingkungan sekolah.
"Data-data yang kita miliki masih banyak sekali sekolah-sekolah yang memperlakukan anak didik dan tenaga pendidikan Islam sebagaimana yang terjadi di Sumatera Barat," ujar pria yang juga Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor tersebut.
Sementara Tito menyatakan sudah melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap peraturan daerah yang berpotensi intoleran. Ini menjawab dugaan kasus di Padang bermula dari instruksi wali kota yang mewajibkan seluruh siswa muslim memakai pakaian muslim, dan yang nonmuslim menyesuaikan.
"Saya sudah menugaskan tim khusus Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Kemendagri) yang tugas utamanya untuk kembangkan wawasan kebangsaan, menjaga stabilitas politik di tingkat pusat dan daerah, untuk evaluasi dan mengkaji tentang perda yang mungkin berbau intolerisme," kata mantan Kapolri itu.
Menanggapi keluarnya SKB tersebut, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsari menilai masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk menuntaskan intoleransi di lingkungan pendidikan. Ia menyarankan strateginya dilakukan secara komprehensif dari kurikulum hingga penyediaan pelajaran agama bagi minoritas.
Dalam perkara penerapan sanksi, ia juga mengingatkan agar setiap kasus didalami dan diungkap secara komprehensif sebelum pemerintah pusat maupun daerah menjatuhkan sanksi. Karena pada sejumlah kasus, kata dia, sekolah tak bisa sepenuhnya disalahkan.
"Karena memang fenomena seperti di Padang kemarin ada di banyak daerah di Indonesia. Tapi langkah ini baru permulaan. Karena harus diikuti langkah lain," katanya.
Namun, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas berpendapat alih-alih melarang, seharusnya negara mewajibkan sekolah mengatur para murid-muridnya untuk berpakaian seragam sesuai dengan agamanya masing-masing.
Anwar menegaskan Indonesia adalah merupakan negara yang berdasarkan nilai-nilai religius. Hal itu, termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Ia memandang pelbagai kebijakan yang dibuat dalam sektor pendidikan seharusnya berdasarkan nilai-nilai dan ajaran agama.
"Negara kita harus menjadi negara yang religius bukan negara yang sekuler," kata dia.
![]() |
Lebih lanjut, Anwar menilai para guru-guru seharusnya mampu membimbing dan mengarahkan anak-anak didiknya menjadi anak yang baik, salah satunya soal seragam. Terlebih, siswa dan siswi di sekolah kebanyakan masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan.
"Itu membuat anak-anak didik kita supaya menjadi orang yang beriman dan bertakwa. Siswa-siswi kita yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu semestinya sesuai dengan konstitusi harus kita wajibkan untuk berpakaian sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya itu," kata pria yang juga dikenal sebagai Ketua PP Muhammadiyah tersebut.
Sedikit berbeda dengan Anwar, sebelumnya MUI melalui Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Masduki Baidlowi menyatakan pencabutan aturan seragam agama di sekolah negeri tak melanggar prinsip beragama. Malah, katanya, penetapan aturan tersebut justru membuat Indonesia kembali pada kebinekaan.
"Saya kira bagus itu, tidak ada masalah dengan itu, justru kita kembali pada warna-warni Indonesia, dulu kan kalau uniformisme Orde Baru ada pemaksaan, dan sekarang kita kembali lagi ke karakter dasar bangsa," kata Masduki saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (3/2).
Dia, yang juga menjabat Juru Bicara Wapres RI Ma'ruf Amin ini, menyampaikan pencabutan aturan seragam dengan atribut keagamaan di sekolah pun tidak melanggar prinsip dasar beragama.