Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menilai pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Skala Mikro di Jawa-Bali bakal bernasib mirip dengan PPKM dua babak sebelumya, tak efektif menekan transmisi virus corona.
Windhu menilai pembatasan wilayah di tingkat mikro seperti RT/RW yang tidak memiliki peta valid, akan semakin berbahaya. Apalagi beberapa poin pembatasan mobilitas pada PPKM mikro lebih longgar dari PPKM sebelumnya.
"Kalau mau jujur, kita ini berjalan tapi dengan peta buta. Karena testing kita sangat minimum, jadi ya tidak bisa. Semakin kecil kemampuan testing seharusnya semakin makro, bukan mikro, itu keliru," kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (8/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kira PPKM mikro ini akan sulit ya melandaikan kasus, malah bertambah kemungkinan," imbuhnya.
Menurutnya, pernyataan itu bukan tanpa alasan. PPKM mikro yang bakal diterapkan mulai Selasa (9/2) mengklasifikasikan RT/RW berdasarkan zonasi atau pemetaan risiko wilayah terpapar Covid-19. Dengan kondisi tes deteksi Covid-19 di Indonesia yang sangat lemah, menurutnya, zonasi skala mikro itu tidak relevan lagi.
Alih-alih PPKM mikro, kata Windhu, pemerintah seharusnya mengoptimalkan peran RT/RW dalam ikut serta mencegah sebaran Covid-19 di kampung. Sebab, peran masyarakat memang sangat penting membantu pemerintah melakukan pemantauan skala kecil. Dia mengatakan lingkup mikro seharusnya bukan untuk definisi kebijakan pembatasan level RT/RW, namun upaya pengendalian saja.
"Seharusnya optimalkan seperti kampung tangguh dan jogo tonggo itu, kalau itu memang benar. Tapi bukan malah dibagi-bagi zonasi di RT/RW, karena sekarang itu sudah seharusnya kita anggap semua wilayah di Indonesia ini bermasalah," jelasnya.
Ia pun mempertegas dengan persentase tes dan telusur yang sampai saat ini masih berkisar di angka 6.445.583 orang atau 2,38 persen dari total penduduk Indonesia, maka sudah bisa dikatakan banyak kasus Covid-19 di lingkup terkecil yang tidak terdeteksi.
Sehingga dengan ketetapan zonasi hijau, kuning, oranye hingga merah akan semakin tidak memperjelas kondisi sebaran Covid-19 di masyarakat mikro. Sebab tim satgas desa akan bekerja dengan mekanisme berbeda, padahal sudah sewajarnya seluruh daerah dianggap berbahaya atau zona merah.
"Zonasi sudah tidak relevan dan untuk tingkat mikro tidak boleh. Prinsipnya, selama peta kita buta, kita tidak bisa menuju ke mikro, wong buta kok. Jadi seharusnya semakin makro, kalau perlu satu provinsi atau bila perlu Pulau Jawa-Bali seluruhnya," jelas Windhu.
Windhu mencontohkan beberapa negara lain yang berhasil melandaikan grafik kasus Covid-19 setelah benar-benar memilih memperkuat upaya di hulu seperti tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) dibandingkan yang lain.
Hongkong misalnya, Windhu menyebut negara tersebut berhasil melakukan tes dan telusur terhadap 87 persen penduduknya. Kemudian Singapura 90 persen penduduknya. Dengan kondisi itu, maka peta zonasi benar-benar akurat.
Ia pun mengajak pemerintah Indonesia tak usah jauh-jauh ke negara maju, negara seperti India yang memiliki jumlah penduduk 1,3 miliar pun berhasil melakukan tes dan telusur terhadap 15 persen total penduduknya.
"Kalau Indonesia sudah bisa seperti negara-negara itu, ya tidak apa PPKM mikro. Kalau sekarang ya seharusnya wajib makro," ujar Windhu.
![]() |
Gagasan PPKM secara masif dan keseluruhan itu menurut Windhu harus segera dilakukan secara terpusat. Sebab menurutnya 11 bulan pandemi di tanah air sudah sewajarnya menjadi media pembelajaran yang hebat bagi pemerintah dan warga.
Bahwa penyebaran Covid-19 masif terjadi akibat mobilitas warga, sehingga pengetatan mobilitas warga dengan tidak membuka sektor non-esensial, serta upaya 3T yang masif. Maka ketika upaya itu dilakukan, menurutnya, baru akan terlihat pelandaian kasus Covid-19 terjadi dalam beberapa pekan setelahnya.
"Kembalikan PPKM ke makro, jangan bikin istilah baru yang semakin membahayakan seperti PPKM mikro ini. Ini berbahaya menurut saya," ujarnya.
Terpisah, Epidemiologi dari Universitas Griffith Dicky Budiman menilai PPKM mikro tidak akan berjalan efektif dengan pelonggaran kebijakan di dalamnya. Salah satunya seperti kebijakan work from home (WFH) atau bekerja di rumah bagi 50 persen pekerja kantoran dalam aturan PPKM Mikro. Padahal aturan PPKM Jawa-Bali lebih ketat dengan mewajibkan 75 persen pekerja bekerja dari rumah, dan hanya 25 persen yang diizinkan bekerja di kantor.
Ada pula dalam aturan PPKM mikro, operasional mal atau pusat perbelanjaan diizinkan hingga pukul 21.00 waktu setempat. Sebelumnya operasional mal hanya sampia pukul 19.00-20.00 waktu setempat.
"PPKM yang dilonggarkan tanpa adanya penguatan signifikan, testing, tracing dan isolasi karantina di semua wilayah adalah bukti kebijakan tidak berbasis sains dan data epidemiologi terkini," kata Dicky.
Apalagi menurutnya sejauh ini pemerintah mengganti banyak istilah pembatasan mobilitas warga yang malah membingungkan masyarakat. Dengan hanya membawa istilah baru, pemerintah jarang secara gamblang memaparkan strategi jitu dan valid yang akan dilakukannya.
Padahal menurut Dicky, sudah sepatutnya pemerintah memaparkan opsi-opsi jangka pendek dan panjang kepada masyarakat, agar masyarakat paham apa yang diinginkan oleh pemerintah lewat kebijakan-kebijakan barunya itu.
"Ketika komunikasi tidak dibangun dan tidak ada kejelasan jangka panjang dan pendek, jangan sampai terbangun asumsi pemerintah sedang mencoba-coba atau tidak tahu apa yang akan dilakukan, ini tidak bagus," kata dia.
Tak hanya sekali, Dicky menilai pemerintah sudah kerap kali membuat kebijakan yang terburu-buru tanpa kajian epidemiologis yang serius. Mulai dari pergantian istilah pembatasan mobilitas warga, hingga penggunaan GeNose tempo lalu sebagai media skrining Covid-19 di transportasi publik.
"Terburu-buru ini mengakibatkan ketidakefektifan dalam penanganan pandemi, jadi kontraproduktif," pungkas Dicky.
Perihal PPKM Mikro, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 3 Tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Corona Virus Disease di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Covid-19.
PPKM mikro ini bakal diterapkan di RT/RW di sejumlah wilayah provinsi Jawa-Bali yang berlaku pada 9-22 Februari mendatang.
(khr/pmg)