Ahli Ingatkan Kebut 3T Harus Diikuti Isolasi Mandiri Terpusat
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman menilai upaya kebut aktivitas surveilans tes , telusur, dan tindak lanjut (3T) pemerintah Indonesia untuk mengendalikan pandemi virus corona (SARS-CoV-2), tergolong telat.
Menurut dia, percepatan idealnya dilakukan pada masa awal pandemi agar puncak kasus Covid-19 segera tercapai. Dengan begitu, kurva selanjutnya bakal melandai. Pernyataan Dicky ini merespons peringatan Kementerian Kesehatan soal potensi kenaikan kasus akibat peningkatan tes dan telusur menggunakan rapid test antigen--sebagai media diagnosis kasus.
Sekalipun terlambat, menurut Dicky langkah mengebut 3T tetap lebih baik dijalankan daripada tidak sama sekali.
"Ya memang sudah telat ya, serba telat, tapi ya tidak apa-apa daripada tidak sama sekali. Kalau menurut saya sih seharusnya genjot 3T itu dilakukan sejak September lalu, sejak WHO merekomendasikan rapid test antigen itu," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (10/2).
Namun demikian, Dicky meminta pemerintah tak kecolongan lagi dalam mengantisipasi potensi kenaikan kasus Covid-19 tersebut. Ia pun mengingatkan pemerintah untuk serius menyusun kebijakan hingga ke perkara teknis dan akar masalah. Sehingga, peningkatan 3T itu tidak sia-sia.
Kebijakan antisipatif itu salah satunya dengan membangun sebuah fasilitas isolasi mandiri terpusat. Dengan upaya ini, maka pasien Covid-19 dapat ditangani tanpa perlu merujuk ke rumah sakit. Sistem ini juga diharapkan mampu menekan beban fasilitas pelayanan kesehatan sehingga tidak lagi terancam kolaps.
Selain itu, menurutnya pemerintah harus mengaktifkan klinik demam yang beroperasi selama 24 jam, sehingga upaya pemeriksaan warga di hilir dapat segera terlacak dengan baik.
Dicky menjelaskan, klinik demam ini dikhususkan untuk daerah yang tidak bisa mengakses fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, atau daerah dengan keterbatasan alat rapid test antigen atau PCR test.
"Jadi sebenarnya bukan di Puskesmas ya penempatan swab antigennya, tapi di klinik demam. Jadi khusus begitu, sehingga tidak mengganggu pelayanan kesehatan di Puskesmas itu," terang Dicky.
Meski begitu, Dicky menilai masih terlalu dini untuk melihat potensi Indonesia akan menuju puncak Covid-19. Sebab, masih ada banyak Pekerjaan Rumah (PR) dan hasil evaluasi yang harus dilihat apakah upaya pemerintah kali ini akan berhasil atau sebaliknya.
Namun Dicky cukup yakin bila memang pemerintah serius dan konsisten memberlakukan kebijakan 3T yang sesuai sasaran, maka target-target perbaikan kasus hingga pelandaian kasus dapat terpenuhi pelan-pelan. Sebab ia menegaskan, kunci utama pandemi terletak pada penanganan hulu atau upaya 3T.
"Ibaratnya sekarang ini sedang membatasi, membuat benteng dari rumput ilalang yang terbakar api Covid-19. Jadi harus serius dan berkelanjutan, jangan setengah-setengah, nanti malah berbahaya," pungkas Dicky.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengaku sudah meminta Presiden Joko Widodo agar tidak panik apabila kasus virus corona Indonesia melonjak beberapa pekan mendatang. Menurutnya, kenaikan kasus Covid-19 akan terjadi karena pihaknya tengah menggenjot strategi 3T dalam skala regional maupun nasional seperti yang dilakukan oleh India.
Hal senada juga disampaikan, Direktur Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi. Ia mewanti-wanti publik untuk tidak kaget bila kasus covid-19 akan mengalami lonjakan kasus dalam beberapa bulan ke depan.
Sebab menurutnya kondisi itu terjadi karena pemerintah tengah menargetkan tes dan telusur dengan rasio 1:30 dari yang semula 1:10. Kini, pemerintah pun resmi menetapkan rapid test antigen sebagai alat diagnosis kasus. Namun demikian, ia menyebut potensi lonjakan kasus itu malah akan mengurangi beban tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.