
Bayang-bayang UU ITE di Balik Jejak Pengkritik Rezim Jokowi

Jejak para pengkritik pemerintah di bawah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) selama ini tak lepas dari bayang-bayang pemolisian. Selama masa pemerintahan Jokowi, mereka ada yang diamankan aparat dengan tuduhan melanggar Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Banyak pihak yang menilai, payung hukum tersebut justru memuat banyak pasal-pasal karet yang dapat dijadikan sebagai alat untuk 'membungkam' siapapun yang berlawanan pendapat dengan pelapor. Kasus saling lapor pun ramai di masyarakat dengan menggunakan aturan ini.
Jaringan relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara/Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, sejak disahkan pada 2008 hingga 2019, jumlah kasus pemidanaan terkait undang-undang ini mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama Covid-19 mewabah di Indonesia, yaitu 110 tersangka.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto sudah sering menyampaikan sejumlah pasal yang bernuasa karet dan tidak memiliki indikator hukum yang jelas sehingga berpotensi disalahgunakan.
Terkini, dia menilai terdapat sembilan pasal karet yang termaktub dalam beleid itu. Misalnya, pasal 27-29 UU ITE.
"Prof @mohmahfudmd saya usul mulai dari 9 pasal bermasalah UU ITE ini. Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum. Selain itu ada juga pasal-pasal lain yang rawan persoalan/disalah gunakan dan perlu diperbaiki rumusannya," kata Damar melalui akun media sosial Twitter miliknya, @DamarJuniarto pada Selasa (16/2).
Pemerintah sendiri mulai membuka opsi untuk merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) usai menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir lantaran kerap digunakan untuk saling lapor di tengah masyarakat.
Presiden Jokowi), menginstruksikan langsung hal tersebut dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri yang digelar di Mabes Polri, Jakarta pada Senin (15/2) kemarin.
Dia berencana untuk menghapus pasal-pasal karet dalam payung hukum tersebut. Terlebih, jika aturan itu tidak menimbulkan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Dalam konferensi pers usai Rapim TNI-Polri tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui keberadaan pasal-pasal karet yang kerap dipakai dalam dugaan kriminalisasi atau saling lapor dengan jeratan UU ITE. Kemudian, malam harinya giliran Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah berdiskusi intensif terkait wacana revisi UU ITE.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PPP Syaifullah Tamliha menyatakan revisi terhadap UU ITE perlu dilakukan untuk menghapus sejumlah pasal karet yang sebelumnya belum dihapus saat revisi UU ITE dilakukan di masa kepemimpinan Rudiantara sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
"Karena yang direvisi sangat terbatas dan pemerintah diwakili Menkominfo saat itu Rudiantara tidak mau memperlebar revisi, maka memang berakibat masih terdapat beberapa pasal karet yang perlu direvisi lagi," kata Tamliha kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/2).
Dia menerangkan, revisi UU ITE yang dilakukan pada 2016 silam hanya dilakukan terhadap dua pasal saja yang menyangkut minimum dan maksimum jumlah masa penahanan untuk kasus tertentu tidak maksimal lebih dari lima tahun.
Menurutnya revisi terhadap dua pasal itu terbukti masih menjadi masalah untuk bagi kebebasan mengemukakan pendapat melalui transaksi elektronik.
Oleh karena itu, kata Tamliha, langkah merevisi kembali UU ITE saat ini bisa menjadi jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Wapres ke-10 RI Jusuf Kalla (JK) beberapa hari yang lalu, yaitu terkait cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi.
![]() |