ICJR Kritik Mahfud soal Keadilan Restoratif Korban Perkosaan
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan Menko Polhukam Mahfud MD keliru memahami pendekatan Restorative Justice (RJ) dalam kasus perkosaan.
Mahfud sebelumnya mengatakan bahwa pendekatan RJ dalam kasus perkosaan berarti membangun harmoni antara keluarga dan pemerkosa agar tidak timbul kegaduhan di masyarakat dan nama baik keluarga korban dapat terjaga.
"ICJR, IJRS, dan LeIP menyayangkan pernyataan ini. Ini adalah contoh kekeliruan memahami lahirnya Restorative Justice dan arti penting menerapkan nilai-nilai," kata peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis (18/2).
Maidina menjelaskan, RJ merupakan penguatan hak korban perkosaan. Secara khusus pendekatan RJ berarti menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku.
Pendekatan RJ juga bertujuan agar penyelesaian permasalahan tersebut bersifat pemulihan atau restoratif.
"RJ bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat," ucapnya.
ICJR juga menilai RJ bisa saja diterapkan pada kasus perkosaan. Namun titik sentral yang mesti diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugian, dan membuat pelaku menyadari perbuatannya dan dampaknya.
"Pernyataan Menko Polhukam yang menilai RJ pada kasus perkosaan tidak untuk menangkap dan mengadili pelaku tidak tepat, meminta pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga justru adalah contoh buruk praktik selama ini yang bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip RJ," jelas Maidina.
Selain itu, ICJR juga menilai pernyataan Mahfud tidak berpihak pada upaya penguatan korban pemerkosaan atau kekerasan seksual.
Padahal banyak survei mengungkapkan korban kekerasan seksual tidak berani melaporkan kasusnya karena narasi yang cenderung menyalahkan korban.
Salah satunya survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93 persen korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya. Alasan mendasar karena ketakutan dengan narasi menyalahkan korban.
Survei terbaru IJRS dan Infid pada 2020 juga menunjukkan bahwa 57,4 persen responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual.
"Dengan pernyataan ini, aktor high level yang seharusnya memberikan jaminan hak korban, justru semakin tidak berpihak pada korban," ucap Maidina.
Lebih lanjut, Maidinia meminta Mahfud segera memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang keliru tersebut.
"ICJR, IJRS dan LeIP meminta Menko Polhukam untuk segera meluruskan dan mengklarifikasi pernyataan tersebut, serta memberikan jaminan bahwa penerapan RJ harus dipahami oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama," pungkasnya.
(mln/psp)