Pelbagai bencana itu berlangsung di bawah kepemimpinan gubernur yang berbeda. Kepala daerah berurutan dijabat mulai dari Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hingga, Pelaksana tugas Gubernur Soni Sumarsono--yang saat itu ditunjuk Kementerian Dalam Negeri karena Ahok maju Pilkada.
Pada 2018 saat estafet kepemimpinan beralih dari Ahok ke Anies Baswedan, masalah banjir tetap awet membayangi Ibu Kota. Tahun itu banjir dengan dampak terbesar terjadi pada Februari.
Luapan air menggenangi sejumlah daerah di Jakarta antara satu hingga 6 hari. Sebanyak 162 RW di 43 kelurahan dari 24 kecamatan tergenang banjir dengan ketinggian air rata-rata 5 hingga 300 cm
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, BMKG mencatat curah hujan tertinggi 104,6 mm/hari. Sebanyak 15.558 orang mengungsi di 60 titik dan satu orang meninggal dunia.
Bencana serupa terjadi lagi setahun berikutnya pada 2019. Dampak terbesar tercatat pada Maret dengan 119 RW tergenang banjir.
Ketinggian air rata-rata antara 10-100 cm dengan lama genangan banjir sekitar 2 hari. Padahal Maret tahun itu curah hujan tertinggi mencapai 130,3 mm/hari, melebihi curah hujan tertinggi pada Februari 2018.
Jumlah warga terdampak pun tercatat menurun, dari tahun-tahun berikutnya yang tadinya di kisaran belasan atau puluhan ribu, pada 2019 ini tercatat 1.010 orang dari 315 kepala keluarga.
Sebanyak 85 warga mengungsi dan nihil korban jiwa.
Bulan berlalu, tahun berganti ke 2020, banjir kembali menyapa daerah di DKI Jakarta. Pada pembuka tahun ada ratusan wilayah yang tergenang hingga 350 cm. Saat itu, intensitas curah hujan memang cukup esktrem, mencapai 377 mm/hari.
![]() |
Akibatnya, sebanyak 390 RW di 151 kelurahan dari 35 kecamatan Jakarta terendam banjir dengan durasi empat hari hingga air benar-benar surut. Sebanyak 83.406 terdampak.
DKI mencatat, ada 36.445 warga yang mengungsi di 269 titik dan 19 orang meninggal selama banjir.
Banjir kembali terjadi pada Februari 2020. Dampaknya tidak lebih buruk dari Januari. Meski jumlah lokasi yang terendam bertambah menjadi 581 RW di 167 kelurahan dari 42 kecamatan, genangan berangsur surut dalam satu atau dua hari.
Ketinggian air saat itu antara 5 sampai 200 cm. BMKG mencatat curah hujan tertinggi di Jakarta yakni 277 mm/hari.
Banjir tersebut membuat 43.464 jiwa terdampak. Sebanyak 13.808 orang mengungsi di 119 lokasi titik dan enam orang meninggal akibat banjir pada periode tersebut.
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala BPBD DKI Jakarta, Sabdo Kurnianto mengakui hampir pasti bakal menghadapi bencana banjir setiap tahunnya. Penanganan banjir tergolong kompleks dan dipengaruhi pelbagai hal, mulai dari cuaca hingga topografi Jakarta.
"Siapapun pemimpinnya, tetap ada banjir, tapi bagaimana mengendalikan banjir itu. Cuaca sangat mempengaruhi. Intinya itu saja. Karena banjir hulu, banjir lokal, hujan dari hulu di Bogor, turunnya ke 13 sungai [di DKI Jakarta]," ungkap Sabdo kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/2).
"Hujan lokal di Jakarta juga mempengaruhi, air rob juga mempengaruhi. Jadi 3 front itu mempengaruhi topografi di DKI Jakarta, karena bagaimanapun juga, DKI ini adalah daerah pesisir," sambung dia lagi.
Itu sebab Sabdo menekankan, yang terpenting adalah strategi pengendalian banjir dan kerja sama dengan pelbagai pihak.
"[Kesiapan Pemprov DKI] Memang sudah ditingkatkan. Tetap dengan asas kolaborasi, tanpa kerja sama TNI-Polri, masyarakat, relawan, mahasiswa, perguruan tinggi, akademisi, peneliti, dan semua unsur," kata dia.
Menurut Sabdo, setidaknya ada 16 ribu personel gabungan yang digalang untuk mengatasi banjir di Jakarta. Tapi itu saja belum cukup. Perlu kerja dari seluruh pihak untuk menghadapi bencana langganan ini.
"Bicara kebencanaan, bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah semata, tapi tanggung jawab kita semua," pungkas Sabdo.
![]() |