Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah menuai kritik usai mencabut limbah batu bara jenis Fly Ash Bottom Ash (FABA) hasil aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan limbah penyulingan sawit (Spent Bleaching Earth/SPE) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berpotensi melonggarkan kesempatan korporasi melanggar aturan pengelolaan limbah.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dalam keterangannya pada Minggu (14/3), berpendapat aturan ini bakal berdampak pada pertanggungjawaban korporasi dalam kasus pencemaran yang sesungguhnya sudah diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Koordinator Nasional JATAM Merah Johansyah menyoroti kasus-kasus pelanggaran pengelolaan limbah industri yang sudah marak ditemukan, meskipun ketika limbah PLTU masih masuk kategori limbah B3.
"Kita khawatir. Waktu masih masuk kategori B3 saja ketaatan pengusaha, pebisnis batu bara, PLTU itu begitu rendah. Apalagi dari status B3 menjadi limbah biasa yang pengaturan pengurusannya jauh lebih longgar," tuturnya ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (15/3).
Kekhawatiran Merah dkk itu bukan tanpa alasan.
Merah mengatakan kasus pelanggaran pengelolaan limbah yang dilakukan PLTU milik PT Indominco Mandiri yang beroperasi di Desa Santan Tengah dan Desa Santan Ilir, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagai salah satu contoh yang seharusnya dijadikan pelajaran.
Merah mengungkap pada 2017, JATAM turut mendampingi warga Desa Santan Tengah dan Desa Santan Ilir untuk menggugat PT Indominco Mandiri karena diduga melakukan pelanggaran pengelolaan limbah FABA. Warga bercerita limbah ditimbun hingga menumpuk di tempat yang tidak sesuai standar dan pengelolaan yang buruk, serta dekat pemukiman.
Dugaan itu disuarakan warga karena mereka merasakan langsung dampak dari penimbunan limbah.
Ketika cuaca panas, mereka mengaku abu bekas pembakaran batubara mengotori pemukiman warga. Terkadang abu hingga masuk ke dalam rumah.
Kondisi ini berdampak pada kesehatan warga sekitar. Merah mengatakan banyak warga yang kemudian terjangkit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena terlalu sering menghirup udara yang tercemar.
 Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Sabtu (13/6/2020). (ANTARA FOTO/Makna Zaezar) |
Sementara ketika cuaca hujan, limbah tercampur dengan air hujan dan mengalir ke sungai di sekitar pemukiman. Alhasil, sungai jadi tercemar dan ekosistem terganggu. Padahal, banyak warga di sana menggantungkan kehidupan dari ekosistem di sungai itu.
Kasus tersebut kemudian dibawa ke meja hijau. Pengadilan Negeri Tenggarong menjatuhkan PT Indominco Mandiri pidana denda sebesar Rp2 miliar pada 4 Desember 2017 melalui Putusan Pidana Lingkungan Hidup No. 526/Pidsus/LH/2017/PN.Tgr. Namun menurut Merah hukuman itu tak cukup memberi efek jera.
"Harusnya ada pidana kurungan juga. Rp2 miliar itu kan murah banget. Setengah dari tongkang batu bara dijual juga sudah kembali balik modal," ujar Merah.
Mengacu pada Pasal 60, Pasal 104, dan Pasal 116 UU PPLH, setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin seharusnya dihukum dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
PT Indominco Mandiri sendiri merupakan perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Bontang dan Kutai Timur. Menurut catatan JATAM, selain memiliki PLTU, perusahaan itu juga punya lahan tambang di kawasan hutan lindung.
CNNIndonesia.com telah berupaya mengkonfirmasi kasus tersebut ke PT Indominco Mandiri melalui surat elektronik dan nomor telepon kantor yang tertera di situs resmi, namun belum mendapat jawaban hingga berita ini ditulis.
Kejadian serupa terkait limbah juga didapati pada industri kelapa sawit. Investigasi Sawit Watch pada Februari 2020 mengungkap perkebunan sawit di Kabupaten Boalemo, Gorontalo yang dikelola PT Agro Artha Surya (AAS) melakukan pelanggaran pengelolaan limbah.
Sejak 2012 silam, PT AAS mengantongi izin usaha pada lahan Areal Peruntukan Lain (APL) seluas 20 ribu hektare yang tersebar di Kecamatan Wonosari, Paguyaman, Dulupi dan Paguyapan Pantai di Kabupaten Boalemo.
Meski sudah memiliki izin lingkungan, Sawit Watch mendapati perkebunan dan pabrik kelapa sawit milik PT ASS belum mengantongi Izin Pembuangan Air Limbah Cair (IPLC), Izin Pemanfaatan Air Limbah untuk Land Aplikasi, dan Izin TPS Limbah B3.
Sementara perkebunan dan pabrik kelapa sawit PT ASS berada tak jauh dari pemukiman dan berdiri 16 meter lebih tinggi, sehingga limbah bisa mengalir ke pemukiman warga jika tidak dikelola dengan baik.
Sejak beroperasi pada Maret 2018, Sawit Watch mengungkap PT ASS belum melakukan swapantau terhadap mutu kualitas air limbah dan belum melaporkan pelaksanaan pengendalian pencemaran air dan pengelolaan kualitas air yang seharusnya dilakukan setiap tiga bulan.
Buntut dari pengelolaan limbah yang tak baik itu pun ujungnya berdampak pada warga setempat. Sawit Watch mendapati aliran luapan air limbah sawit di lahan plasma masyarakat hingga sungai di sekitar areal pabrik.
"Dari penuturan warga, salah satu sumur menjadi berubah warna, sedikit berbau, berubah rasa dan bahkan setelah dimasak kandungan minyak muncul di permukaan air," demikian tertulis dalam laporan investigasi Sawit Watch yang diterima CNNIndonesia.com.
Investigasi juga menemukan PT ASS menumpuk limbah padat yang seharusnya bisa dimanfaatkan di belakang bangunan pabrik. Timbunan limbah menumpuk hingga ketinggian 5 meter dan diprotes masyarakat karena mengeluarkan bau tidak sedap.
Menurut Sawit Watch, dalam hal ini PT ASS tidak melakukan pertanggungjawaban sosial yang sesungguhnya sudah dimanfaatkan dalam peraturan perundang-undangan.
CNNIndonesia.com telah berupaya mengkonfirmasi laporan tersebut kepada Direktur PT AAS, Saiful namun belum mendapat jawaban.
Konfirmasi juga disampaikan melalui nomor telepon PT Inti Agri Resources Tbk yang merupakan pemilik saham PT ASS. Namun operator yang menjawab enggan memberikan informasi.
Dicabutnya limbah batu bara dan penyulingan sawit dari kategori limbah B3 menyebabkan sejumlah perubahan pada aturan pengelolaan limbah. Salah satunya, PLTU dan korporasi sawit kini tak perlu mengajukan izin persetujuan teknis dalam pengelolaan limbah.
Namun, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati menegaskan pemerintah akan tegas menghukum korporasi yang ketahuan melanggar aturan dan mencemari lingkungan.
"Kami di pemerintah, KLHK, ESDM dan kementerian lain tidak akan lepas tangan. Kalau memang ada terjadi pelanggaran maka bisa dilakukan penegakan hukum. Masyarakat bisa lakukan gugatan ganti kerugian," tuturnya.
Walhi mendesak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup-- turunan dari UU Ciptaker--yang telah melonggarkan aturan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Jaringan organisasi yang telah mengadvokasi lingkungan sejak dekade 1980an itu mendesak Jokowi mencabut PP tersebut karena menilai hal yang diputuskan itu adalah langkah sembrono--dapat menimbulkan risiko tinggi terhadap kesehatan, apalagi di tengah masa pandemi Covid-19.
"Pengubahan limbah-limbah B3 menjadi limbah non-B3 secara keseluruhan--tanpa melalui uji karakteristik setiap sumber limbah spesifik, menunjukkan pemerintah telah bertindak secara sembrono dan membebankan risiko kesehatan di pundak masyarakat," ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati dalam keterangan tertulis, Minggu (14/3).
Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memberikan penjelasan mengenai entitas limbah yang tak lagi masuk kategori B3.
Terkait limbah batu bara, Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan kebijakan ini telah melalui kajian yang mendalam.
"KLHK ketika ambil kebijakan keputusan, tidak ada dipaksa orang. Kami sebagai instansi teknis pasti punya alasan saintifik. Jadi, semuanya itu berdasarkan scientific based knowledges," kata Vivien dalam jumpa pers daring, Jumat (12/3).
Vivien mengatakan pemerintah membuat dua ketentuan tentang FABA.
Pertama, limbah itu dikategorikan sebagai limbah B3 jika perusahaan yang mengolahnya menggunakan sistem stoker boiler dan tungku industri. Sementara bagi perusahaan yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal atau chain grate stoker, FABA yang dihasilkan masuk kategori limbah nonB3.
Vivien menerangkan FABA yang dihasilkan dari sistem pembakaran pulverized coal atau chain grate stoker terbakar sempurna. Alhasil, FABA bisa digunakan untuk bahan campuran konstruksi.
Sementara FABA yang dihasilkan sistem stoker boiler dan tungku industri tidak stabil saat disimpan. Sebab limbah ini tidak terbakar sempurna berkat teknologi yang belum mutakhir.
Dalam jumpa pers selanjutnya, Senin (15/3), Vivien mengatakan kajian Human Health Risk Assessment (HHRA) yang dilakukan atas PLTU limbah batu bara juga tak melebihi parameter Toxicity Reference Value (TRV) yang ditetapkan Kementerian Tenaga Kerja. Dengan demikian, hasil kajian itu menyatakan tidak membahayakan pekerja.
Atas dasar itu, kata dia, hasil pengujian tersebut menyatakan semua syarat limbah berbahaya tak terpenuhi, sehingga limbah batu bara dihapus dari kategori limbah B3. Menurut Vivien, hasil penelitian tersebut juga sudah dikoordinasikan dengan ahli di bidangnya dan sesuai data referensi dari PLTU.
Selain karena pertimbangan itu, Vivien menyebut FABA batu bara dikeluarkan dari limbah B3 juga karena pembakarannya dilakukan dengan suhu tinggi dan lebih stabil dibanding limbah hasil industri lain.
Mengulang kembali yang ia jelaskan pada Jumat lalu, Vivien menjelaskan tak semua FABA dikeluarkan dari limbah B3 dalam PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Limbah dari industri lain yang lebih berbahaya masih masuk kategori B3.
Vivien menegaskan pengelolaan limbah non-B3 tidak akan luput dari pengawasan karena bisa diawasi melalui analisis dampak lingkungan (amdal). Nantinya, lanjut dia, PLTU harus memasukkan rencana pengelolaan limbah dalam amdal.
Dia juga membocorkan sejumlah aturan yang ia katakan akan diatur dalam peraturan menteri LHK yang saat ini sedang digodok jajarannya. Peraturan itu khusus mengatur pengelolaan bagi limbah non-B3.
Mengutip paparan yang disampaikan Vivien, permen LHK itu mewajibkan industri mengurangi limbah non-B3, melakukan pemanfaatan limbah sesuai standar, mengikuti standar penimbunan limbah, melakukan penanggulangan pencemaran lingkungan dan melaporkan kegiatan pengelolaan limbah.
Industri kemudian dilarang membuang limbah non-B3 tanpa persetujuan pemerintah pusat, membakar limbah secara terbuka, mencabut limbah non-B3 dengan limbah B3 dan menimbun limbah di fasilitas tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah.