ANALISIS

Vaksin Nusantara, Ruang Bisnis dan Pesimistis Herd Immunity

CNN Indonesia
Senin, 19 Apr 2021 12:28 WIB
Epidemiolog menduga pengembangan vaksin nusantara terkait dengan bisnis. Biaya vaksin yang mahal membuat tidak semua orang dapat mengakses vaksin tersebut.
Ilustrasi. Vaksin Corona. (ANTARA FOTO/JOJON)
Jakarta, CNN Indonesia --

Vaksin Nusantara menjadi polemik setelah dukungan para tokoh terbelah atas vaksin yang dibesut mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto tersebut. Klaim vaksin nusantara merupakan karya anak bangsa pun dipertanyakan.

Sementara itu para epidemiolog berpendapat biaya proses vaksin nusantara masih tinggi menyebabkan tak semua orang bisa mendapatkannya. Alasannya vaksin Nusantara menggunakan metode sel dendritik, pengembangan dari teknik terapi kanker.

"Bahkan, untuk satu orang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta," kata Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (19/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, menurut dia, proses yang dijalani tergolong lebih rumit dibandingkan dengan vaksin lainnya seperti Sinovac dan AstraZeneca.

"Ada ruang khusus, steril, enggak bisa di ruangan biasa," ujar Windhu.

Windhu juga menyebut mustahil vaksin Nusantara bisa mengejar target herd immunity atau kekebalan kelompok di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Dia mengatakan, sejak awal, vaksin nusantara merupakan vaksin yang khusus untuk individual.

Windhu menduga ada motif bisnis dalam pengembangan vaksin nusantara ini. Melalui proses yang rumit dan biaya yang tinggi itu, kata dia, tidak semua orang dapat mengakses vaksin tersebut.

"Pemerintah bangkrut misalnya, dan vaksin nusantara ini jadi vaksin program. Pemerintah enggak akan sanggup biayai itu," tegasnya.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman menyatakan bahwa vaksin nusantara ini tidak efisien untuk sebuah program vaksinasi. Selain prosesnya tak sederhana, vaksin ini juga membutuhkan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi yang lebih baik dibanding program vaksinasi lainnya.

Dicky juga menduga pengembangan vaksin ini sebagai lahan bisnis. Sebab, kata dia, pemerintah akan repot jika menggunakan vaksin nusantara untuk program vaksinasi. Ia menerangkan bahwa vaksin nusantara tidak visible untuk kesehatan masyarakat. Namun, untuk program vaksinasi mandiri, hal ini masih masuk akal.

"Kalau untuk rumah sakit bisa, tapi akan memerlukan orang yang memang (butuh), kalau ditanggung negara, ditanggung BPJS atau bayar sendiri (tidak mungkin)," jelas Dicky.

"Jadi menurut saya, pada saat ini kalau bicara dikatakan sama, ya berapa orang, dengan subsidi dari mana. Dan ini dalam masa riset, saya belum melihat ada hitung-hitungannya. Makanya negara maju tidak memilih ini, karena enggak cost effective," tambahnya.

Peneliti utama vaksin nusantara dari RSPAD Gatot Subroto, Jonny menjamin harga vaksin yang dibesut pihaknya dan Terawan sebanding dan bersaing dengan sejumlah merk vaksin Covid-19 lain yang beredar di Indonesia.

Jonny menerangkan, pihaknya hanya mengambil sebanyak 40 mililiter dalam setiap sampel darah yang diambil. Jumlah itu, katanya, jauh lebih sedikit jika dibandingkan sampel darah yang diambil untuk pengembangan sel dendritik untuk kanker.

"Nah itu mungkin yang mahal karena untuk pengobatan sel kanker dan tidak bisa sekali. Yang sampai ratusan juta. Ya itu untuk kanker. Kok disamain sama kita. Wong yang ini cuma sekali dengan pengambilan darah 40 mililiter," ujar Jonny.

Pengembangan vaksin Nusantara saat ini mandek setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II Vaksin Nusantara karena tak memenuhi sejumlah syarat, di antaranya syarat cara pembuatan obat yang baik (CPOB).

BPOM juga merilis beberapa temuan mereka yaitu komponen yang digunakan dalam penelitian Vaksin Nusantara tidak sesuai pharmaceutical grade, kebanyakan impor, hingga antigen virus yang digunakan bukan berasal dari virus corona di Indonesia.

(dmi/ain)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER