Selain dari sisi politik, pengamat pun menilai dari sisi kebijakan ambisi pemerintahan Jokowi menyegerakan merampungkan proyek mercu suar ibu kota negara baru itu memang menjadi sebuah persoalan.
Sebelumnya Jubir Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman mengatakan pemerintah menargetkan untuk memulai groundbreaking alias peletakan batu pertama dapat dilakukan tahun ini.
"Kalau dalam konteks kita lagi menghadapi pandemi tentu tidak bijak [mengebut pengerjaan IKN]. Persoalan itu, apakah pembangunan itu menggunakan APBN atau tidak," kata Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisaksi, Trubus Rahadiansyah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (21/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trubus menerangkan dalam proses pembiayaan pembangunan IKN tersebut dapat dilakukan melalui APBN ataupun penggalangan dana dari pihak-pihak luar pemerintahan, seperti misalnya swasta.
Hanya saja, menurut dia, dua metode pembiayaan tersebut saat ini juga tidak cocok untuk dilakukan dalam merampungkan proyek besar negara tersebut. Jika garapan proyek didominasi oleh pihak swasta, hal tersebut pun berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu nantinya.
"Apakah mungkin pembangunan itu tanpa cucuran dana APBN. Kalau misalnya, nanti semua dibangun oleh swasta bagaimana nanti penyelesaiannya. Artinya setelah selesai itu, apakah nanti kota yang dibangun itu tidak menjadi masalah di kemudian hari," jelas Trubus menambahkan.
Pemerintahan Jokowi menyatakan bahwa skema pembiayaan ibu kota negara baru akan memakan anggaran Rp500 triliun. Kemudian, pembiayaannya akan berasal dari APBN sebesar satu persen dan sisanya dipenuhi dengan pembiayaan kerja sama.
Trubus berharap nantinya pemberian proyek-proyek penggarapan IKN oleh pihak swasta pun harus dilakukan secara selektif. Pasalnya, dia memprediksi akan terjadi banyak tarik menarik antara swasta dengan pemerintah dalam merampungkan pemegang proyek itu. Hal itu, lanjut dia, rentan disalahgunakan oleh pemegang otoritas negara.
"Bagaimana dengan pembagian kue-kuenya (proyek swasta), pembagian job-nya, area wilayahnya juga," ucapnya lagi.
![]() |
Trubus menganalisis sejumlah mudarat yang mungkin terjadi apabila proyek pemindahan ibu kota negara ini rampung dilakukan di masa pandemi. Menurutnya, pemerintah akan kesulitan untuk memastikan penggunaan ibu kota negara baru secara maksimal. Menurutnya, setelah pembangunan fisik rampung dilakukan, maka rezim pemerintahan diprediksi sudah berganti.
Presiden yang baru, kata dia, bisa jadi memiliki pandangan berbeda mengenai penggunaan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Sehingga, Trubus menyatakan perlu aturan hukum yang jelas untuk menangani perbedaan pandangan itu.
"Ketika rezim pemerintahannya ganti, apakah itu nanti enggak akan jadi masalah misalnya dengan bagaimana memindahkan ASN-nya untuk bekerja di situ, ini kan masalah. Kalau nanti swasta, apakah nanti swasta juga enggak terlibat dalam ini,"kata dia.
Kemudian, Trubus juga mengkhawatirkan terjadinya timpang aturan hukum dalam mengimplementasikan pemindahan ibu kota baru tersebut.
Dia berkaca pada penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) pada 13 April lalu. Menurutnya, payung hukum itu kemudian membuat pembangunan IKN tidak ada bermanfaat dalam jangka pendek.
"Artinya wilayah Jabodetabek ini ditambah, itu kan di tata ruangnya ada. Persoalannya kemudian, apakah pembangunan ibu kota baru untuk jangka pendek ini diperlukan atau tidak," ucap Trubus.