Anak Pemohon Wafat, MK Tetap Cermati Uji Materi Ganja Medis

CNN Indonesia
Kamis, 22 Apr 2021 17:06 WIB
Gedung MK, Jakarta. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mencermati dan melanjutkan proses uji materi UU Narkotika meskipun anak salah satu pemohon yang pernah mendapat ganja medis meninggal dunia.

Sebelumnya, tiga ibu mengajukan uji materi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terkait pelarangan ganja. Sidang perdana digelar pada Rabu (16/12). Musa bin Hasan Pedersen, anak dari salah satu pemohon uji materi, Dwi Pertiwi, meninggal dunia pada usia 16 akibat kelainan otak cerebral palsy, Sabtu (26/12).

"[Salah satu pemohon] kemudian masih tetap melanjutkan permohonan ini dengan menggunakan atas nama almarhum putranya," ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo, kepada kuasa hukum Pemohon Erasmus Napitupulu, dalam sidang pada Rabu (21/4).

"Karena kan begini, Pak Erasmus kan paham juga bahwa bagaimana hak konstitusional itu kaitannya dengan bisa enggak diwariskan, berbeda dengan hak-hak keperdataan pada umumnya. Tapi nanti kami akan cermati karena ini kan permohonan ketika permohonan awal diajukan, belum meninggal ya, putranya," lanjut dia.

Erasmus mengatakan pihaknya tetap menjadikan Dwi sebagai salah satu pemohon. Hal ini berdasarkan putusan MK Nomor 80/PUU-XIV/2016, tertanggal 31 Agustus 2017. Bahwa ibu bisa memiliki legal standing untuk mewakili anaknya yang masih di bawah 15 tahun.

Persoalan kedudukan hukum pemohon itu merupakan salah satu poin perbaikan dalam uji materi UU Narkotika itu.

"Kami membuka opsi untuk kemudian apabila Yang Mulia menyatakan tidak dapat diwakili almarhum karena sudah meninggal, maka yang menjadi Pemohon tetap Ibu Dwi Pertiwi," ujar Erasmus.

"Ya, kami tidak dalam posisi sudah mengatakan tidak bisa, tapi semua akan kami cermati dan pertimbangkan bersama Panel dan Hakim Mahkamah Konstitusi," timpal Suhartoyo.

Sidang uji materi penggunaan narkotika atau ganja untuk medis tercatat dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020. Gugatan itu dilayangkan oleh enam pemohon yakni, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).

Lalu ada Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti, masing-masing sebagai pemohon satu sampai tiga mewakili para pemohon perorangan. Erasmus mengatakan, ketiganya juga mewakili anak mereka yang membutuhkan pertolongan medis dengan narkotika atau ganja.

Mereka mengajukan gugatan uji materiil terhadap penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang melarang ganja digunakan untuk medis.

Dalam sidang perdana 16 Desember 2020 lalu, Erasmus mendalilkan, bahwa tiga orang pemohon perseorangan itu merupakan ibu dari anak mereka yang menderita celebral palsy akibat perkembangan otak yang tidak normal, sering kali sebelum lahir.

Dwi Pertiwi pernah memberi terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada Musa selama menjalani terapi di Victoria, Australia, pada 2016. Akan tetapi, terapi itu terpaksa dihentikan setelah ia dan anaknya kembali ke Indonesia.

"Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika," kata dia.

Menurut Erasmus, larangan itu menghalangi pemohon menerima pengobatan bagi anaknya. Kondisi serupa juga terjadi pada dua ibu lain sebagai pemohon dalam perkara ini.

Dalam petitum, para pemohon meminta MK mencabut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan ganja untuk medis. '

(thr/arh)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK