Menurut Windhu, lonjakan puncak kasus Covid-19 sejauh ini dinilainya terjadi pada 30 Januari lalu dengan 14.518 tambahan kasus dalam sehari.
Pada pengujung 2020 dan awal bulan 2021 itu rata-rata kasus mencapai 10 ribu dalam beberapa hari berturut. Akibatnya BOR RS untuk isolasi dan ICU penuh, pemakaman di DKI Jakarta pun demikian. Sampai-sampai, harus membuka lahan baru pemakaman khusus pasien Covid-19.
Namun memasuki Maret awal, Indonesia mengalami pelandaian kasus. Satgas menyatakan gelombang pertama dapat dilalui bila terjadi konsistensi penambahan kasus harian berjumlah setengah dari 14 ribu--rekor kasus tertinggi--atau kurang lebih 7 ribu kasus dalam sehari dalam 3-5 pekan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila melihat pakem itu, maka perkembangan kasus Covid-19 di bawah angka tujuh ribu kasus dalam sehari telah terjadi selama hampir lima pekan. Akan tetapi kondisi itu menurut Windhu ternyata belum cukup aman.
"Dan sekarang pun Indonesia stagnan, tidak turun lagi. Memang sempat turun dibanding Januari di puncak pertama itu. Nah, stagnasi itu dari pengalaman di banyak negara dan pengalaman kita sendiri, itu kondisi berbahaya dan itu bisa-bisa naik lagi. Kita jangan sampai terjadi lonjakan covid-19 seperti India," jelasnya.
Lebih lanjut, Windhu juga menyoroti ihwal kecolongan Indonesia terhadap ratusan Warga Negara India yang diizinkan masuk di Indonesia. Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Soekarno-Hatta mencatat pada periode 11-22 April 2021, ada 454 WN India masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta, meski mereka memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) atau kepemilikan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap).
Namun kini, pemerintah menetapkan keputusan untuk menolak masuk warga asing yang memiliki riwayat perjalanan dari wilayah India dalam kurun 14 hari sebelum masuk Indonesia. Kebijakan berlaku mulai Sabtu (24/4) lalu. Tapi ia tetap menyayangkan kebijakan yang terkesan lamban tersebut, padahal 'Tsunami Covid-19' India telah terjadi selama dua bulan belakangan.
"Kita begitu permisif, kita tidak pernah belajar. Warga tidak boleh mudik, tapi WNA bisa masuk, apa bedanya? Nah itu yang menurut saya situasi yang berbahaya," pungkas Windhu.
Untuk itu Windhu pun meminta pemerintah memperkuat lini pintu masuk negara Indonesia dan titik-titik pada pelarangan mudik mendatang. Kendati ia sendiri menyangsikan larangan mudik akan benar-benar mampu membatasi pergerakan warga.
Menurut Windhu, kebijakan itu tidak sepenuhnya dilakukan dengan tepat. Ia lantas mengkritik pemerintah yang dinilai kerap mengeluarkan kebijakan paradoks, seperti larangan mudik jauh dilarang, akan tetapi mudik dekat diizinkan. Selain itu, tempat wisata juga tidak ditutup secara total.
"Potensi peningkatan kasus pasca lebaran ada. Jadi kalau kita seperti ini, Indonesia akan bisa seperti India," kata Windhu mengingatkan.
Sebab, lanjut dia, berkaca pada kasus-kasus pada tahun lalu libur panjang yang rata-rata menyumbang kenaikan kasus nasional. Tercatat, penambahan jumlah kasus Covid-19 baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak hingga 93 persen pada libur Idulfitri 22-25 Mei 2020. Lonjakan kasus itu terlihat dalam rentang waktu 10-14 hari kemudian.
Hal serupa terjadi pada libur panjang Agustus 2020. Penambahan jumlah kasus positif baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak hingga 119 persen sejak libur panjang 20-23 Agustus 2020.
Ada pula, libur panjang 28 Oktober-1 November 2020 yang naik hingga 95 persen. Dan terakhir, pada 24 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021 melonjak hingga 78 persen.
"Nah itu yang kita khawatirkan, nasib India bisa terjadi di Indonesia. Kasus Iindia 3-4 kali lipat dari puncak tertinggi mereka di September 2020. Kita harus berhati-hati karena kita bakal menghadapi peristiwa mirip, keagamaan, yaitu lebaran," ungkap Windhu.
(khr/nma)