Partai Ummat baru saja dideklarasikan. Bernafaskan Islam, Partai Ummat disokong sejumlah nama yang telah aktif di politik, misalnya Amien Rais, MS Kaban, Hanafi Rais dan beberapa orang lainnya.
Pembentukan Partai Ummat juga menjadi perhatian publik sejak beberapa waktu ke belakang. Sebab, Amien Rais membentuk partai tersebut pasca konflik dengan Zulkifli Hasan di Kongres V PAN, 11 Februari 2020.
Di berbagai kesempatan, Amien Rais kerap menyampaikan bahwa Partai Ummat bakal menjadi saluran politik dalam menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi, tak ada yang tahu bagaimana dan seberapa lama Partai Ummat mampu menjalankan fungsinya. Respons publik terhadap partai baru itu juga diprediksi biasa-biasa saja.
Lihat juga:Amien Rais Resmi Deklarasikan Partai Ummat |
Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah paham dengan eksistensi partai politik selama ini.
Masyarakat, menurut Adi, akan memberikan respons yang biasa saja atau bahkan sinis dengan kemunculan partai baru karena tidak berpengaruh kepada kehidupan mereka secara konkret.
Respons publik yang biasa saja terhadap Partai Ummat, kata Adi, bukan karena faktor Islam dalam identitas yang diusungnya. Setiap parpol yang muncul, apapun ideologi yang diusung, tidak pernah disambut antusias oleh publik.
"Respon masyarakat biasa saja dan tidak ada yang spesial karena pada dasarnya parpol di Indonesia punya cacat bawaan. Bekerja kalau mau pemilu saja. Jadi sambutan publik tuh hambar bahkan cenderung sinis, karena mereka orientasinya untuk kepentingan mereka," kata Adi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (29/4).
Partai politik dibentuk dengan tujuan mengikuti pemilihan umum (pemilu). Begitu pula dengan Partai Ummat.
Menurut Adi, partai yang digawangi Amien Rais itu bakal sulit mendapat suara besar. Ada beberapa alasan yang dia utarakan.
Pertama, masyarakat Indonesia memposisikan Islam sebagai identitas sosial. Bukan politik. Oleh karena itu, jika Partai Ummat mengedepankan keislamannya, maka justru akan sulit mendapat suara yang besar dalam pemilu.
"Islam hanya untuk identitas sosial bukan preferensi politik. Itu yang bisa menjelaskan partai Islam itu selalu kalah," katanya.
Kedua, Partai Ummat harus bersaing dengan partai Islam lainnya yang sudah memiliki banyak pemilih tetap. Sebut saja Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Partai Ummat pun diprediksi bakal sulit jika bertekad menggerus suara dari partai Islam yang sudah ada. Adi mengatakan partai-partai lain sudah memiliki mesin politik yang kuat dan solid, sehingga tak mudah untuk merebut pemilihnya.
"Kalau mau besar, bikinlah ceruk pemilih yang baru. Ada sekitar 80 persen masyarakat yang merasa tidak dekat dengan parpol. Nah ini yang harus dikapitalisasi oleh parpol baru itu," kata Adi.
"Tapi problemnya, seringkali parpol baru ini, suka mengganggu atau bernafsu merebut basis pemilih partai Islam lain," lanjutnya.
Adi menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat menggunakan hak suara saat pemilu didasari sejumlah faktor.
Pertama, mayoritas masyarakat akan memilih dengan tokoh yang sudah dikenalnya. Terutama, kinerja politiknya menjelang pemilu.
Kedua, faktor ketokohan pemimpin atau sosok kunci dalam partai. Adi mencontohkan, seperti Partai PDIP dengan sosok Megawati atau trah Soekarno-nya. Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono, dan Gerindra dengan Prabowo Subianto.
"Jadi yang dikenal bukan platform dan visi misi partainya," kata adi.