KKB Papua Dicap Teroris, KSP Jamin Aparat Tak Akan Berlebihan
Kantor Staf Presiden (KSP) menyebut aparat tidak akan bertindak berlebihan meski pemerintah telah menyematkan label teroris kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani menyebut label teroris hanya disematkan kepada orang yang melakukan kekerasan, menimbulkan teror, merusak fasilitas publik, dan mengganggu keamanan.
"Pemerintah akan memastikan bahwa tindakan penegakan hukum yang akan dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak akan eksesif yang bisa berdampak negatif pada masyarakat," kata Jaleswari dalam keterangan tertulis, Jumat (30/4).
Dia meminta masyarakat Papua tak khawatir. Jaleswari mengimbau masyarakat menjalankan aktivitas seperti biasa.
Ia juga mengajak masyarakat memantau kegiatan penegakan hukum di Papua agar sesuai prinsip-prinsip hukum dan HAM. Di saat yang sama, pemerintah memastikan setiap tindakan yang diambil sesuai prinsip HAM.
"Pemerintah sedang menyiapkan kerangka operasi yang komprehensif yang memperhatikan secara ketat prinsip-prinsip HAM," tuturnya.
Jaleswari menyampaikan keputusan yang diambil pemerintah saat ini guna memulihkan keamanan dan menghentikan teror. Dia menyebut selama ini KKB jadi pihak yang paling banyak melakukan kekerasan.
Mengutip riset Gugus Tugas Papua PPKK Fisipol UGM tahun 2010-2020, dia menyebut KKB jadi pelaku kekerasan dalam 118 kasus. Adapun TNI jadi pelaku kekerasan dalam 15 kasus, sedangkan Polri pelaku kekerasan 13 kasus.
"Berdasarkan hasil riset yang sama, mereka yang menjadi korban meninggal dari tindak kekerasan yang terjadi, total 356 orang, adalah masyarakat sipil serta TNI dan Polri sebanyak 93 persen, sisanya sebanyak 7 persen adalah anggota KKB," ucap Jaleswari.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan KKB di Papua sebagai teroris. Pemerintah akan menugaskan Densus 88 dan TNI untuk menangani KKB di Papua.
Kebijakan itu dikritik oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Ketua Setara Institute Hendardi menilai kebijakan itu berpotensi melanggar HAM.
"Selain kontraproduktif, mempercepat dan memperpanjang spiral kekerasan, langkah pemerintah juga rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius," ucap Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis (29/4).
(dhf/psp)