Larangan Mudik 'Yang Penting Ada' & Kerumunan Jelang Lebaran
Aturan mudik yang dibuat pemerintah dinilai gampang berubah dan tanpa sosialisasi yang cukup. Akibatnya, masyarakat bingung dan arus mudik tetap terjadi.
Diketahui sebelumnya, edaran Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri menetapkan warga dilarang mudik pada 6-17 Mei. Pada 22 April, pemerintah menambah ketentuan terkait mudik, yakni menambah masa pengetatan perjalanan.
Seluruh perjalanan pada 22 April-5 Mei dan 18-24 Mei diatur ketat. Pemerintah juga memperpendek masa berlaku hasil tes RT PCR dan rapid antigen sebagai syarat perjalanan.
Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 13 Tahun 2021. Dalam aturan itu disebutkan warga dalam satu wilayah aglomerasi boleh melakukan pergerakan selama larangan mudik.
Wilayah-wilayah aglomerasi yang dimaksud adalah Medan Raya, Jabodetabek, Bandung Rata, Semarang Raya, Yogyakarta Raya, Solo Raya, Surabaya Raya, dan Makassar Raya.
Saat larangan mudik berlaku, pemerintah kembali mengumumkan aturan baru. Kali ini, pemerintah menegaskan tak boleh ada mudik dalam satu wilayah aglomerasi.
"Untuk memecah kebingungan masyarakat terkait mudik lokal di wilayah aglomerasi, saya tegaskan pemerintah melarang apapun bentuk mudik, baik lintas provinsi maupun satu wilayah kabupaten/kota aglomerasi," ucap Wiku dalam jumpa pers daring di kanal Sekretariat Presiden, Selasa (4/5). Pemerintah tak melarang kegiatan nonmudik di wilayah aglomerasi.
Kebijakan itu pun membuat bingung publik. Bahkan, para kepala daerah di Jabodetabek menyatakan bingung dengan kebijakan tersebut. Selama pelarangan mudik juga petugas di lapangan sering kali kewalahan menghadapi para warga yang nekat mudik.
Kejadian terbaru berlangsung di Kedungwaringin, Bekasi, Minggu (9/5) malam. Petugas terpaksa membuka jalur mudik karena kendaraan menumpuk di pos penyekatan.
Analis kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai pemerintah setengah hati dalam menerapkan larangan mudik. Menurutnya, hal itu terlihat sejak perumusan aturan.
Trubus mengkritik aturan yang mudah sekali berubah. Selain itu, penerapan di lapangan tak dipersiapkan dengan baik. Padahal, pemerintah telah memprediksi ada 18,9 juta orang yang ngotot mudik tahun ini.
"Menurut saya lebih banyak arahnya yang penting sudah ada kebijakan. Jadi, kalau ledakan, [kesannya] itu bukan sepenuhnya pemerintah yang salah, tapi publik yang salah," kata dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (10/5).
Trubus menilai larangan mudik juga tidak disertai kebijakan tegas lainnya dalam menekan potensi penularan Covid-19. Misalnya, tak ada lagi bantuan sosial sebagai kompensasi warga yang tidak mudik.
Selain itu, pemerintah justru membuka tempat wisata selama larangan mudik. Menurutnya, kebijakan ini justru kontraproduktif dengan klaim pemerintah melarang mudik demi mencegah lonjakan kasus Covid-19.
"Setengah hati kebijakan itu karena mempertimbangkan aspek ekonomi dengan membuka sektor pariwisata dan sebagainya. Itu juga memang seperti perencanaannya tidak jelas," tuturnya.